Tulisan Al-‘Allamah Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh As-Salafi

 

 

 

HAK-HAK PERSAUDARAAN

Oleh: Al-‘Allamah Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh As-Salafi

(Menteri Agama Kerajaan Arab Saudi)

 

Pengantar dari Penerjemah

Tidak diragukan lagi bahwasanya kita sekarang tengah berada di zaman yang mulai pudar nilai-nilai ukhuwah (persaudaraan) yang dilandasi karena Allah. Jadilah manusia tidak berhubungan satu dengan yang lainnya kecuali karena pertimbangan materi dunia. Mereka saling mencintai karena faktor dunia, demikian juga mereka saling membenci karena faktor dunia. Tidaklah salah seorang dari mereka mendekati yang lainnya dengan bermanis-manis wajah kecuali karena ada maunya, yaitu karena kepentingan dunia. Dan tatkala kepentingan dunianya tidak bisa dicapai berubahlah senyuman menjadi raut masam.

Hal seperti ini bukanlah gaya hidup salafus shalih dan mereka sangat jauh dari model hidup seperti ini. Mereka tidaklah mencintai seorangpun dan tidak bersahabat dengannya kecuali karena Allah. Rasulullah telah bersabda:

لاَتَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوْا

Tidaklah kalian akan masuk surga sampai kalian beriman dan tidaklah kalian beriman hingga kalian saling mencintai…”1

Defininsi daripada Ibadah adalah “Sebuah nama yang mencakup apa yang yang dicintai Allah dan diridloinya baik berupa perkataan maupun perbuatan baik yang dzohir maupun yang batin”. Diantara perkataan dan perbuatan yang dicintai dan diridloi oleh Allah adalah menunaikan hak-hak ukhuwwah, hak seorang atas saudaranya sesama muslim yang lain terlebih lagi jika telah terjalin antara mereka berdua hubungan dan tali cinta yang khusus sehingga menjadilah ia sahabat karibnya melebihi hanya sekedar saudara sesama muslim. Mereka berdua bertemu dan berpisah karena Allah, mereka berdua sama-sama berjalan di atas ketaatan kepada Allah, yang satu menolong yang lainnya dalam mengerjakan kebajikan-kebajikan. Maka semakin kuat hak-hak ukhuwwah yang ada diantara keduanya. Dan hak-hak ini hendaknya diperhatikan oleh setiap muslim baik yang sudah tua maupun yang masih muda, baik yang lelaki maupun yang muslimah.

Sesungguhnya Allah telah memberi kenikmatan kepada kaum muslimin dengan menjadikan mereka bersaudara. Allah berfirman:

فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتٌمْ عَلَى شَفَى حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا

Lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara, dan kalian dahulu berada di tepi jurang neraka lalu Allah menyelamatkan kalian darinya” (QS Ali ‘Imron 103)

Tatkala Allah menjelaskan kenikmatan yang telah Ia berikan kepada hamba-hambaNya yaitu dengan menyatukan hati-hati mereka dan menjadikan mereka -dengan anugrah nikmat-Nya- menjadi saling bersaudara, maka hal ini menunjukan bahwa kenikmatan yang sangat agung ini -yaitu persaudaraan (ukhuwwah)- semestinya hanyalah karena Allah, tali cinta yang tumbuh diantara hati-hati kaum mu’minin semestinya hanyalah karena Allah.

Seorang Muslim haruslah mengakui bahwa persaudaraan dan kecintaan sesama kaum mu’minin karena Allah adalah suatu kenikmatan yang agung dari Allah yang hendaknya dijaga dan diperhatikan. Firman Allah فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا Lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara”, berkata sebagian Ulama menafsirkan firman Allah بِنِعْمَتِهِ (karena nikmat-Nya), ini adalah peringatan bahwasanya terjalinnya tali persaudaraan dan terjalinnya tali cinta kasih diantara kaum mu’minin hanyalah karena karunia Allah, sebagaimana dijelaskan dalam ayat yang lain:

لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِيْ الْأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْت بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ

Walaupun engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi niscaya engkau tidak bisa mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allahlah yang telah mempersatukan hati mereka” (QS Al-Anfal:63)

Maka yang menjadikan seseorang mencintai yang lainnya dan menjadikan hati-hati manusia menjadi bersatu padahal mereka berasal dari penjuru dunia yang beraneka ragam, dari ras dan bangsa yang bermacam-macam, dari martabat yang bertingkat-tingkat, yang menjadikan mereka saling mencintai, menjadikan mereka sama dalam perkara yang satu yaitu beribadah kepada Allah adalah Allah dengan karunia nikmat-Nya. Ini adalah suatu kenikmatan yang selayaknya seorang muslim bergembira karenanya. Allah berfirman:

Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat Allah itu lebih baik dari yang mereka kumpulkan” (QS Yunus 58)2

Berkata Abu ‘Amr Al-Auza’i: Menyampaikan kepadaku ‘Abdah bin Abi Lubabah dari Mujahid: “Dan saya bertemu dengan Mujahid lalu dia merangkul tanganku dan berkata: “Jika bertemu dua orang yang saling mencintai karena Allah lalu salah satunya mengambil tangan yang lainnya dan tersenyum kepadanya maka akan gugur dosa-dosa mereka sebagaimana gugur daun-daun pohon”

Maka ‘Abdah berkata: “Akupun menimpali: “Ini adalah perkara yang mudah”, maka Mujahid menegurku seraya berkata: “Janganlah engkau berkata demikian karena sesungguhnya Allah berfirman:

لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِيْ الْأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْت بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ

Walaupun engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi niscaya engkau tidak bisa mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allahlah yang telah mempersatukan hati mereka” (QS Al-Anfal:63)

Berkata ‘Abdah: “Maka akupun mengakui bahwa dia lebih paham daripada aku”3


Huququl Ukhuwwah (Hak-hak persaudaraan)4

Hak yang pertama:

Hendaknya seorang mu’min tidaklah mencintai saudaranya kecuali karena Allah bukan karena kepentingan dunia, dan ini adalah keikhlasan dalam ibadah; ini yaitu persahabatan dengan saudaranya5. Maka hendaknya antara dia dan saudaranya serta sahabatnya sesama muslim terjalin tali cinta karena Allah bukan karena kepentingan duniawi. Jika persaudaraan dan persahabatan dilandasi karena Allah maka persahabatan tersebut akan langgeng. Tapi jika persahabatan terbangun karena kepentingan duniawi maka kecintaan dan persahabatan tersebut akan pudar dan sirna. Bentuk keikhlasan dalam tali cinta hubungan persaudaraan adalah: hendaknya seorang hamba mencintai dan bersahabat karena Allah, sebagaimana yang diterangkan oleh Nabi: ”Tiga perkara jika terdapat pada diri seorang maka dia akan merasakan manisnya iman, (1) Jika Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, (2) dia mencintai seorang tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah, (3) dia benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran tersebut sebagaimana dia benci dilempar ke neraka”.

Rasulullah menjelaskan bahwa tiga perkara ini jika terkumpul pada diri seseorang maka dia akan merasakan manisnya iman. Dan di antara tiga perkara tersebut adalah: dia mencintai seseorang tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah.

Oleh karena itu perkaranya bukanlah yang penting (sekedar) engkau mencintai saudaramu namun yang penting -dalam ibadah yang engkau melaksanakan perintah Allah ini- hendaknya kecintaanmu kepada sahabat karibmu, kepada saudaramu adalah karena Allah bukan karena faktor dunia. Jika engkau mencintai saudaramu maka hendaknya (bukan karena dunia) namun karena apa yang terdapat dalam hati saudaramu tersebut berupa tauhid dan pengagungan terhadap Allhah dan sunnah Rosulullah dan karena amalan yang dia nampakkan yang sesuai dengan sunnah. Dan inilah hakekat dari kecintaan karena Allah yang dia merupakan hak ukhuwwah yang pertama. Maknanya seseorang jika hendak bergaul dengan orang lain atau menjalin hubungan dengan saudaranya tidaklah dia bergaul kecuali semata-mata karena Allah. Jika dia bersahabat dengan saudaranya seiman kemudian dia menampakkan kepada saudaranya tersebut bahwasanya persahabatannya ini karena Allah, namun ternyata dalam hatinya menyimpan sebagian kepentingan dunia maka dia pada hakikatnya telah menipu dan berbuat curang kepadanya karena saudaranya tidak mengetahui isi hatinya dan dia menyangka persahabatan mereka karena Allah padahal tidaklah demikian.

Kecintaan seorang terhadap saudaranya karena Allah akan membuahkan buah yang manis, diantaranya dia akan menunaikan hak-hak ukhuwah (yang akan datang penjelasannya) karena tidaklah tatkalah dia bermuamalah dengan saudaranya –apa saja bentuk muamalah tersebut- kecuali dia dalam keadaan takut pada Allah, sebab tidaklah dia bersahabat kecuali semata-mata karena Allah. Oleh karena itu barang siapa yang tertanam dalam hatinya hakikat hal ini kemudian dia menerapkannya -yaitu dia tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah- maka akan nampak buah yang manis ini pada tindakan-tindakannya sesuai dengan kadar keikhlasannya. Akan nampak buah manisnya pada hak-hak ukhuwwah yang lainnya –yang akan datang penjelasannya-. Dan diantara buah yang manis hasil persahabatan karena Allah adalah persahabatan tersebut akan langgeng, adapun jika persahabatan dan persaudaraan bukan karena Allah maka akan pudar dan sirna dan hal ini bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa melihat relasi-relasi diantara manusia, hubungan mereka dengan saudara-saudara mereka seiman, hubungan mereka dengan ulama, dengan para penuntut ilmu, demikian juga relasi mereka dengan sebagian saudara mereka yang memiliki harta, yang memiliki perniagaan atau memiliki kedudukan atau terpandang, jika seseorang bersahabat dan bersaudara dengan mereka bukan karena Allah namun karena demi memperoleh kepentingan dunia maka tatkala dia telah memperoleh kepentingannya akan terputuslah tali persaudaraannya tersebut, bahkan dia tidak berterima kasih terhadap saudaranya, tidak menghubunginya lagi, apalagi yang lebih dari itu -semoga Allah melindungi kita dari sifat seperti ini-, dia malah mencela saudaranya itu dan membeberkan kejelekan-kejelekan saudaranya yang telah dilihatnya dimasa silam tatkala sedag bersahabat. Tidak diragukan lagi bahwa hak ini adalah hak ukhuwwah yang pertama, hendakanya seseorang mengkondisikan dirinya tidaklah dia mencintai seseorang kecuali karena Allah sehingga membuahkan faedah yang sangat besar dalam relasinya dengan saudaranya, dalam bermu’amalah, dalam menjaga hak-hak saudaranya, dan dalam ibadah yang dia merupakan perkara yang paling agung.

Hak yang kedua

Mempersembahkan bantuan kepada saudaranya baik bantuan harta maupun dengan jiwanya.

Tidak diragukan bahwasanya manusia bertingkat-tingkat kedudukan dan martabat mereka. Manusia sebagian mereka berkhidmah (membantu) sebagian yang lain. Orang yang kaya membantu orang yang miskin, demikian pula sebaliknya orang miskin juga membantu orang yang kaya. Barang siapa yang terpandang maka dia akan membantu orang yang tidak terpandang, dan demikianlah manusia bertingkat-tingkat harkat dan martabat mereka. Allah menjadikan keadaan mereka demikian sehingga ada sebagian mereka yang menghinakan dan merendahkan sebagian yang lain – dan rahmat tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan-. Ini sudah merupakan sunnatullah bahwasanya manusia bergolong-golongan. Jika demikian keadaannya maka diantara hak-hak ukhuwwah dan persahabatan hendaknya seorang yang beriman berusaha untuk berkorban membantu saudaranya baik dengan harta maupun dengan jiwa demi sahabat karibnya karena hakekat persaudaraan adalah mengutamakan saudara daripada diri sendiri sebagaimana firman Allah “dan mereka mengutamakan (kaum Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka membutuhkan (apa yang yang mereka berikan itu)”. Dan itsar (mengutamakan saudara dari pada diri sendiri) merupakan hak ukhuwwah yang mustahab. Jika seseorang berada pada derajat itsar maka sunguh dia telah berada diatas kebaikan, namun kami menuntut yang lebih ringan yaitu memberi pertolongan kepada saudara dengan bantuan jiwa (fisik) atau dengan harta, yaitu dia memperhatikan kekurangan dan kebutuhan saudaranya dan membantunya dengan hartanya yang lebih atau dengan waktunya yang lebih. Sebagian ulama berkata bahwa diantara adab hak yang kedua ini janganlah dia menunggu saudaranya yang kekurangan itu meminta bantuannya, tapi hendaknya dia yang mencari kekurangan dan kebutuhan saudaranya yang telah dipilihnya sebagai sahabatnya dan dicintainya karena Allah6. Pada sebagian peperangan – sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya – Nabi menyuruh sebagian sahabat untuk mengecek dan melihat apa yang dimiliki oleh sahabat yang lain sehingga perawi hadits berkata: “Hingga tidaklah salah seorang dari kami yang merasa bahwa dia memiliki lebih dari pada saudaranya”

Hal ini tidak diragukan lagi merupakan martabat yang tinggi namun perkara ini –yaitu berkorban jiwa dan harta- merupakan hal yang agung dan ada tingkatannya. Maka diantara hak-hak ukhuwwah adalah engkau mengorbankan hartamu untuk saudaramu. Kami menghendaki engkau mengorbankan hartamu yang berlebih. Jika engkau memiliki harta yang lebih maka engkau utangi saudaramu, dan mengutangi saudara muslim sekali merupakan kebaikan dan perbuatan ihsan dan jika dia mengutanginya dua kali maka perbuatan itu merupakan sedekah, seakan-akan dia bersedekah kepada saudaranya dengan sedekah tersebut sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam sunannya: من أقرض أخاه مرتين فهو كالصدقة عليه Barang siapa yang mengutangi saudaranya dua kali seperti bersedekah kepadanya”7 dan ini merupakan perkara yang agung yaitu mengorbankan jiwa tanpa diminta terlebih dahulu yaitu engkau mengamati kebutuhan saudaramu, engkau melihatnya membutuhkan harta, engkau melihat keadaannya yang kumuh, engkau melihat kondisinya yang tidak baik, padahal engkau telah Allah lampangkan hartamu maka hendaknya engkau mengorbankan sebagian hartamu yang berlebih, dengan demikian engkau membantunya dan inilah yang terbaik karena dengan mengorbankan harta yang lebih maka akan lebih mengikat tali ukhuwwah. Dan orang yang mengorbankan hartanya terlebih dahulu tanpa diminta berbeda dengan orang yang mengorbankan hartanya setelah diminta. Allah telah berfirman mensifati orang-orang mu’min : أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْKeras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang diantara sesama mereka” (QS Al-Fath: 29), dan sifat mereka orang-orang mu’min bahwasanya mereka saling mengasihi konsekuensinya sebagian mereka menyayangi sebagian yang lain, mengasihi sebagian yang lain yang lagi membutuhkan bantuan hartanya, yang membutuhkan agar dia memanfaatkan kedudukannya yang terpandang untuk membantu saudaranya, yang butuh engkau untuk membantu dirinya, untuk keperluan dirumahnya, butuh bantuanmu dalam memperbaiki sesuatu, yang waktunya sempit padahal dia banyak keperluan, banyak kepentingan, dia harus bersafar, maka hak seorang saudara terhadap saudaranya yang lain –yaitu hak ukhuwwah yang khusus-engkau berusaha untuk membantunya karena tali ukhuwwah mengharuskan adanya pengorbanan. Rasulullah telah bersabda dalam hadits yang shohih:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهُمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالْحُمَّى وَ السَّهَرِ

Permisalan orang-orang mu’min dalam saling mencintai dan saling mengasihi dan saling menyayangi seperti jasad yang satu jika salah satu anggota tubuh sakit maka seluruh anggota tubuh yang lain juga merasakan demam dan tidak bisa tidur”8, dan dalam hadits shohih yang lain yang terkenal: “Orang mu’min bagi orang mu’min yang lain seperti bangunan manguatkan satu dengan yang lainnya”9.

Dengan demikian maka hak ini yaitu mengorbankan jiwa maka hendaknya seorang mu’min membiasakan dan melatih dirinya untuk berkorban demi saudaranya, mengorbankan sebagian waktunya demi saudaranya, sebagian hartanya. Hendaknya dia berusaha untuk melatih darinya, sehingga kebakhilan bener-bener hilang dalam hatinya dan dia benar-benar terlepas darinya. Seorang mu’min diperintahkan untuk terlepas dari sifat pelit yaitu mustahab hukumnya. Allah telah memuji kepada mereka dengan firmannya “Dan barang siapa yang dijaga dari kekikiran dirinya mereka itulah orang-orang yang beruntung”

Kebakhilan modelnya bisa bermacam-macam. Seseorang mungkin (mudah) baginya untuk pergi bersama saudaranya ke suatu tempat untuk mengenalkan tempat tersebut kepada saudaranya, atau memanfaatkan kedudukannya demi saudaranya, atau mungkin baginya untuk menyebut-nyebut saudaranya di sisi seseorang…semua ini mungkin baginya untuk membantu saudaranya namun dia pelit, bakhil untuk mengorbankan waktunya demi saudaranya10. Kalau begitu apa arti persaudaraan jika tanpa pengorbanan, jika tanpa pemberian?? Rasulullah bersabda:

مَنْ كَانَ فِيْ حَاجَةِ أَخِيْهِ كَانَ اللهُ فِيْ حَاجَتِهِ

Barang siapa yang menolong saudaranya maka Allah akan menolongnya”11

Jika engkau menkondisikan dirimu untuk berkorban demi saudaramu, demi sahabat karibmu, maka sesungguhnya hal ini merupakan hak-hak ukhuwwah yang barang siapa berkorban (membantu saudaranya) sebelum diminta maka sesungguhnya dia telah melaksanakan sesuatu yang sangat agung dan barang siapa yang berkorban (membantu saudaranya) setelah diminta maka dia hanyalah menunaikan apa yang merupakan kewajibannya atau apa yang disunnahkan baginnya. Namun yang namanya akhlak yang mulia dan semangat untuk berbuat kebajikan yaitu engkau menolong terlebih dahulu sebelum dimintai tolong. Oleh karena itu sebagian salaf mengecek kebutuhan saudara-saudaranya tanpa diketahui. Betapa banyak dikisahkan kepada kita tentang keadaan salaf dimana mereka memasukkan sebaigan harta mereka kedalam rumah saudara-saudara mereka tanpa diketahui siapakah yang telah memberikan dan mengirim harta tersebut. Suatu ketika berkata Ar-Robi’ bin Khutsaim kepada keluarganya: “Buatlah untukku makanan –yaitu jenis makanan tertentu yang disukainya-“, maka keluarganyapun membuat makanan dengan sebaik-baiknya. Lalu diapun mengambilnya dan membawa makanan tersebut pada seorang saudaranya yang Allah mengujinya dengan suatu musibah sehingga dia tidak bisa berbicara, tidak bisa mendengar dan tidak bisa melihat. Jika Ar-Robi’ datang kepadanya kemudian memberikannya makanan atau hadiah maka siapakah yang mengetahui kebutuhannya12? Siapakah yang tahu apa yang telah diberikan oleh Ar-Robi’? orang cacat ini tidak akan mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Ar-Robi. Maka datanglah Ar-Robi’ kepadanya kemudian memenuhi kebutuhan orang cacat tersebut, makanan khusus yang disukainya dia berikan kepada orang ini yang merupakan saudaranya seiman dinegrinya, lalu iapun memberi makan kepadanya dan menyuapnya sedikit demi sedikit hingga akhirnya diapun kenyang..Tatkala Ar-Robi’ kembali dikatakan padanya: “Wahai Robi’engkau telah melakukan sesuatu yang kami tidak faham apa sebabnya?, Robi’ berkata: “Apakah yang telah aku lakukan”?, mereka berkata: “Engkau memberi makan (menyuapi) orang cacat tersebut padahal dia tidak mengenalmu, apa tidak cukup engkau berikan makanan tersebut kepada keluarganya kemudian keluarganya yang akan menyuapinya?”, Ar-Robi’ berkata: “Tapi Allah mengetahui perbuatanku”

Betapa banyak atsar dari salaf semisal ini. Ada seorang salaf yang merawat anak-anak saudaranya (yang telah meninggal dunia dan meninggalkan anak-anaknya) selama empat puluh tahun hingga akhirnya diapun ikut meninggal. Anak-anak tersbut berkata: “Seakan-akan kami tidak pernah kehilangan ayah kami”, yaitu mereka seakan-akan ayah mereka belum meninggal dunia karena saking banyaknya pengorbanan dan bantuan yang mereka rasakan dari seorang salaf tersebut.

Dikisahkan bahwasanya Ibnu Taimiyah takala meninggal sebagian shyaikh-syaikh yang di masa hidup mereka selalu memusuhi Ibnu Taimiyah maka beliaupun berusaha untuk membantu kebutuhan-kebutuhan keluarga yang ditinggalakan oleh para syaikh tersebut. Beliau berusaha merawat anak-anak mereka, hal ini dikarenakan walaupun mereka memusuhi beliau namun disana ada hak-hak ukhuwwah yang khusus yaitu hak tali Islam (yang harus ditunaikan). Dan mereka yang lemah (yaitu keluarga para syaikh tersebut) siapakah yang mereka punyai (untuk merawat mereka)?, yang mereka punyai adalah orang yang telah terbebas dari hawa nafsunya, yang telah terbebas dari pembelaan terhadap kepentingan pribadi (yaitu Ibnu Taimiyah), maka beliaupun berkorban demi mereka, beliau selalu memperhatikan dan merawat anak-anak dan keluarga musuh-mushnya yang telah memusuhinya dan berusaha menjatuhkannya.

Tidak diragukan lagi bahwa hal ini merupakan bentuk menjalankan syariat dan menjadikan syariat diatas hawa nafsu, diatas kepentingan-kepentingan pribadi, dan ini semua merupakan kenyataan. Dan mungkin saja banyak orang yang diberi taufiq oleh Allah untuk berkorban seperti ini.

Disana ada tingkatan diantara tingkatan pengorbanan yang dianjurkan untuk dicapai, yaitu banyak orang yang terkadang telah berkorban, terkadang yang berkorban melakukan tindakan-tindakan yang baik dan terpuji terhadap saudaranya yang ditolongnya, namun (setelah menolongnya) dia merasa bahwa dirinya memiliki kemuliaan, dia merasa memiliki keutamaan dengan memberikan bantuan pada saudaranya, baik berupa bantuan harta ataupun memanfaatkan kedudukannya. Dan hakikat dari peribadahan yang sempurna kepada Allah hendaknya seorang mu’min yang telah membantu dan berkorban bersyukur kepada Allah yang telah menjadikan dirinya sebagai jalan diantara jalan-jalan timbulnya kebaikan yang Allah mendatangkan kebaikan melalaui jalan-jalan tersebut. Sesungguhnya Allah menggunakan sebagian hamba-hambanya pada jalan-jalan kebaikan. Daintara hamba-hamba Allah ada yang merupakan pembuka (pintu-pintu) kebaikan dan penutup (pintu-pintu) kejelekan, maka seorang hamba jika telah menolong saudaranya dan memabantu dengan jiwanya atau dengan memanfaatkan kedudukannya maka tidak disukai dan tercela dan bukan termasuk akhlak yang mulia kalau setelah itu dia menunggu untuk dipuji. Dia berkorban kemudian menyebut-nyebut kebaikan yang telah dilakukannya. Sesungguhnya hakikat dari keihklasan dan hakikat dari mencintai saudara karena Allah adalah dia bermu’amalah dengan saudaranya tersebut karena Allah, sehingga yang dia tunggu adalah pahala dan ganjaran dari sisi Allah (bukan menunggu pujian manusia).

Hak yang ketiga

Diantara hak-hak ukhuwwah adalah menjaga kehormatan saudara. Dan ini merupakan hak yang sangat agung, bahkan tidaklah bisa dipahami makna dan nilai persaudaraan (ukhuwwah) yang khusus kecuali dengan menjaga kehormatan saudaranya.

Ukhuwwah secara umum (tidak khusus) yaitu persaudaraan seorang muslim dengan muslim yang lainnya Rasulullah telah memerintahkan pada tali persaudaraan yang umum untuk menjaga kehormatan-kehormatan kaum muslimin. Pada hadits Abu Bakroh yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori dan Musim dan selain keduanya bahwasanya Rasulullah bersabda tatkala berkhotbah pada waktu hari ‘Arofah pada wktu haji wada’:

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ

Sesungguhnya darah kalian, harta-harta kalian, dan kehormatan dan harga diri kalian haram atas kalian hingga akhir dari hadits13.

Maka kehormatan dan harga diri seorang muslim secara umum haram untuk dinodai oleh muslim yang lain, bagaimana lagi jika diantara muslim yang satu dengan yang lainnya terjalin ikatan persaudaraan dan persahabatan yang khusus??, bagaimana dia tidak menjaga kehormatan saudaranya itu?, padahal telah terjalin antara mereka tali persaudaraan yang khusus yang tidak terjalin antara mereka dengan selain mereka?. Jika seorang muslim diperintahkan untuk menjaga kehormatan saudaranya yang jauh darinya yang diantara mereka tidak ada ikatan khusus atau kecintaan khusus bagaimana lagi jika dengan saudaranya yang diantara mereka ada hubungan dan kecintaan (khusus) dan ada saling-menolong diantara mereka dalam mengerjakan kebaikan dan ketakwaan serta usaha untuk taat kepada Allah dan untuk beribadah kepada Allah dan untuk memperoleh kebajikan-kebajikan dan menjauh dari dosa-dosa??

Bentuk-bentuk menjaga kehormatan dan harga diri saudara (baik saudara yang memiliki tali ukhuwwah yang khusus maupun saudara yang ada tali ukhuwwah secara umum):

  1. Yang pertama hendaknya engkau menahan diri tidak menyebutkan kejelekan-kejelekannya, karena persahabatan atau ukhuwwah yang khusus mengharuskan engkau mengetahui hal-hal (yang khusus yang timbul dari sahabatmu yang selalu berjalan bersamamu -pen), misalnya dia mengucapkan suatu perkataan atau bertindak suatu tindakan atau melakukan suatu perbuatan. Apakah makna dari ukhuwwah yang khusus melainkan engkau amanah terhadap apa-apa yang kau lihat pada diri saudaramu dan engkau amanah terhadap apa yang kau dengar dari sahabatmu. Jika tidak demikian maka setiap orang akan menghindar dari orang yang mau berhubungan dengannya, jika demikian tidak ada yang namanya sahabat karib, dan tidak ada pula yang namanya sahabat yang menjaga kehormatan saudaranya baik dihadapan saudaranya itu maupun dibelakangnya yang hal ini mendorong sebagian orang tatkala melihat di zamannya kosong dari adanya seorang sahabat sejati dan seorang kekasih yang menjaga kehormatan saudaranya dan menepati janji-janjinya, mendorongnya untuk menulis sebuah kitab yang dia beri judul تَفْضِيْلُ الْكِلاَبِ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ لَبِسَ الثِّيَابِ (Pengutamaan anjing-anjing diatas kebanyakan orang yang memakai pakaian), karena sang penulis mendapati bahwasanya anjing jika pemiliknya berbuat baik padanya maka dia akan menunaikan tugasnya hingga sang anjing rela mengorbankan darahnya demi membela pemiliknya yang telah berbuat baik padanya, maka sang penulis berkata :”Pengutamaan anjing-anjing diatas kebanyakan orang yang memaikai pakaian”. Karena banyak orang yang berkhianat, dia bersahabat dengan saudaranya dengan tali persahabatan yang khusus, dia mengetahui rahasia-rahasia pribadi dari saudaranya, namun tidak lama kemudian diapun menyebarkanya dan menyebutkan aib-aib saudaranya yang telah dilihatnya dan membeberkannya. Kalau seandainya saudaranya itu mengaetahui bahwa dia akan membeberkan rahasia-rahasia pribadinya maka dia akan menjadikannya musuh dan tidak akan menganggapnya sebagai seorang sahabat yang terpercaya dan menunaikan janji. Oleh karena itu termasuk hak saudaramu engkau diam tidak menyebutkan aib-aib saudaramu pada manusia baik dihadapannya maupun -terlebih lagi- dibelakangnya. Sesungguhnya hak seorang muslim atas saudaranya yaitu dijaganya harga dirinya bagaimana lagi jika terjalin tali hubungan khusus.

  2. Diantara bentuk hak yang ketiga ini engkau tidak detail saat bertanya pada saudaramu dan engkau tidak mencari-cari dan turut campur pada permasalahan-permasalahan yang dia tidak nampakkan (ceritakan) padamu. Contohnya engkau melihatnya berada di suatu tempat tertentu, lantas engkau bertanya padanya: “Apa yang menyebabkan engkau datang ke tempat itu?”, “Apa yang kau bawa?”, “Mengapa engkau pergi ke fulan?”, “Ada apa antara engkau dengan si fulan?”, dan pertanyaan-pertanyaan yang lain yang merupakan bentuk ikut campur pada perkara yang bukan kepentinganmu. Jika sahabatmu ini ingin engkau turut campur dalam masalah dia maka dia akan mengabarkannya padamu, dan jika dia tidak suka maka tentu dia menyembunyikannya karena ada maslahatnya. Dan seseorang termasuk kebagusan keislamannya dia meninggalkan apa yang bukan kepentingannya (tidak berfaedah baginya). Rasulullah telah bersabda: “Merupakan keelokan keislaman seseorang dia meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya”. Maka jika engkau melihat dia (saudaramu) pada suatu keadaan , jika engkau melihatnya pergi menuju pada sesuatu, maka janganlah engkau bertanya kepadanya tentang keadaannya itu, jangan engkau tanya tempat yang ia tuju karena tali persaudaraan tidaklah mengharuskan saudaramu memberitahu engkau segala sesuatu. Sesungguhnya manusia memiliki rahsia-rahasia pribadi, dan mereka meiliki keadaan-keadaan (tertentu yang bersifat pribadi –pen)

  3. Bentuk ketiga dari hak ini yaitu engkau menjaga rahasia-rahasia pribadinya yang ia ceritakan padamu. Ia kabarkan padamu tentang pengamatannya, tentang pendapatnya pada suatu permasalahan. Kalian berbicara tentang seseorang maka dia pun mengabarkan engkau pendapatnya terhadap orang tersebut. Kalian berbicara tentang suatu permasalahan lalu ia memiliki pendapat tentang permasalahan tersebut lalu ia kabarkan pada engkau karena engkau adalah orang khusus, karena engkau adalah sahabatnya. Terkadang pendapatnya itu benar dan terkadang keliru. Maka jika engkau adalah sahabat sejati maka tidaklah saudaramu itu mengabarkan kepada engkau kecuali agar engkau menjaganya bukan untuk kau sebarkan (meskipun tatkala mengabarkanmu dia tidak meminta engkau untuk merahasiakannya –pen). Karena konsekuensi dari tali persaudaraan yang khusus yaitu adanya rahasia diantara mereka, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya: الرَّجُلُ إِذَا حَدَّثَ الرَّجُلَ بِحَدِيْثٍ ثُمَّ الْتَفَتَ عَنْهُ فَهِيَ أَمَانَةٌSeseorang jika mengabarkan orang lain suatu kabar kemudian berpaling darinya14 maka kabar itu adalah amanah (atas orang yang dikabarkan)15. Maka hal ini adalah amanah dan Allah memerintahkan kita untuk menjaga amanah dan menjaga kehormatan, karena jika engkau menceritakan pendapatnya maka manusia akan merendahkannya. Engkau melihat pendapatnya yang aneh lalu engkau mengabarkan manusia: “Sifulan (yaitu saudaramu itu) talah berpendapat seperti ini”, “Sifulan telah berkata tentang sifulan begini dan begitu”, kalau begitu apa makna persaudaraan?, apakah maknanya engkau menyebarkan darinya apa yang dia tidak sukai untuk disebarkan?.

Dan yang lebih parah dari ini seseorang datang kepada saudaranya yang diantara mereka terjalin tali persaudaraan yang khusus (yaitu sahabat karib) lalu dia meminta saudaranya ini untuk merahasiakan apa yang akan dia ceritakan, dia berkata: “Pembicaraan kita ini khusus hanya engkau yang tahu jangan kau beritahu siapapun juga!”, lalu saudaranya inipun mengabarkannya kepada orang yang ketiga sambil berkata: “Pembicaraan ini khusus diantara kita jangan kau beritahu pada siapapun!”, lalu akhirnya khabar tersebut tersebar di masyarakat dan orang yang pertama tidak mengetahui hal ini. Sebagaimana perkataan seorang penyair:

وَكُلُّ سِرِّ جَاوَزَ الإِثْنَيْنِ فَإِنَّهُ بِنَفْسٍ وَتَكْسِيْرِ الْحَدِيْثِ قَمِيْنٌ

Dan setiap rahasia yang diketahui lebih dari dua orang maka lebih baik disimpan di hati dan tidak usah diceritakan16

Dan hal ini merupakan kenyataan, seseorang jika memilih orang lain untuk menjadi sahabatnya atau saudaranya lalu dia ceritakan padanya rahasianya maka harus disembunyikan (tidak diceritakan pada orang ketiga) terutama jika dia meminta untuk dirahasiakan rahasia tersebut. Jika dia tidak memintanya untuk merahasiakannya maka sebagaimana sabda Nabi : الرَّجُلُ إِذَا حَدَّثَ الرَّجُلَ بِحَدِيْثٍ ثُمَّ الْتَفَتَ عَنْهُ فَهِيَ أَمَانَةSeseorang jika mengabarkan orang lain suatu kabar kemudian berpaling darinya maka hal itu adalah amanah (atas orang yang dikabarkan)”, bagaimana lagi jika dia meminta sahabatnya itu untuk merahasiakannya dan tidak mengizinkannya untuk menceritakannya pada orang lain17.

  1. Diantara bentuk hak yang ketiga ini adalah seorang muslim hendaknya menahan diri dari menyebutkan kejelekan-kejelekan yang dilihatnya pada saudaranya atau pada keluarga saudaranya atau karib kerabatnya atau pada kejelekan yang dia dengar dari saudaranya itu. Contohnya seseorang menelepon saudaranya –dan misalnya saudaranya ini tinggal bersama keluarganya atau tinggal sendirian- lalu ia mendengar (di telepon) dari rumah saudaranya itu sesuatu yang tidak dirdloi maka lalu dia kabarkan keorang lain: “Saya mendengar ini dan itu dirumah si fulan”, atau dia melihatnya pada suatu keadaan yang tidak terpuji maka lalu dia kabarkan kejelekan-kejelekan tersebut. Ini bukanlah termasuk menjaga kehormatan saudara sesama muslim bahkan ini termasuk menodai kehormatan saudara. Dan yang wajib bagi engkau adalah engkau menjaga kehormatan saudaramu. Jika engkau mendengar sesuatu yang jelek tentang dirinya atau engkau melihat dai berada pada keadaan –yang tidak terpuji-, atau dia berbicara suatu perkataan atau yang semisalnya maka menjaga kehormatannya adalah wajib bukan malah engkau mengorbankan kehormatannya dan engkau membicarakannya karena engkau diperintahkan untuk menjaga kehormatan dan harga diri. Seorang muslim atas muslim yang lain diharamkan darahnya, hartanya, dan kehormatannya. Adapun pembahasan tentang nasehat-menasehati diantara saudara seiman maka akan ada penjelasannya tersendiri.

Nabi telah bersabda:

لا تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَقَاطَعُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخِوَانًا

Janganlah kalian bertahassus dan jangan bertajassus dan janganlah saling memutuskan hubungan dan jangan saling bertolak belakang dan jadilah kalian wahai hamba-hamba Allah saling bersaudara”18

Hadits ini mengandung dua buah kalimat yaitu sabda Rasulullah pada hadits yang disepakati akan keshohihannya ini: لا تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا Janganlah kalian saling bertahassus dan jangan saling bertajassus”. Perbedaan antara tahassus dan tajassus sebagaimana menurut pendapat sekelompok ulama –dan ada khilaf tentang hal ini19-, mereka berkata bahwasanya tajassus yaitu (mencari-cari kejelekan orang) dengan menggunakan indra penglihatan, adapun tahassus dengan (mendengar) kabar berita. Dalilnya adalah firman Allah:

يا بنيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسٍّسُوا مِنْ يُوْسُفَ وَ أَخِيْهِ وَلاَتَيْئَسُوا مِنْ رَوْحِ اللهِ

Wahai anak-anakku pergilah kalian dan carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah” (QS Yusuf 87)

Firman Allah فَتَحَسٍّسُوا مِنْ يُوْسُفَ وَ أَخِيْهِ (carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya), diambil dari kalimat tahassus yaitu mencari berita. Adapun tajassus maka Allah melarangnya sebagaimana firman Allah :

وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا

Janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kalian menggunjing sebahagian yang lain” (QS Yusuf 87)

Tajassus adalah mencari-cari kesalahan orang lain dengan menggunakan mata. Dimulai dengan melihat saudaramu lalu engkau mengamati –gerak-geriknya. Engkau melihatnya berjalan di suatu jalan kemudian engkau mengikutinya hingga engkau tahu beritanya…., janganlah kau lakukan hal itu, pujilah Allah karena engkau tidaklah melihat dari saudaramu kecuali kebaikan-kebaikannya. Demikian juga tahassus, engkau berkata: “Bagaimana kabarnya si fulan?”, “Apa sih yang dikatakan si fulan?”, padahal fulan tersebut termasuk saudara-saudaramu seiman dan sahabat-sahabatmu yang sejati yang terjalin antara engkau dengan mereka tali kasih sayang, yang terjalin antara engkau dengan mereka tali persahabatan, maka janganlah engkau bertahassus dan janganlah engkau bertajassus terhadapnya. Seorang muslim dilarang untuk melakukannya terhadap saudara-saudarnya sesama kaum muslimin secara umum bagaimana lagi terhadap orang-orang yang terjalin antara engkau dengan mereka tali ukhuwwah yang khusus. “Janganlah bertahassus” yaitu janganlah mencari-cari berita saudaramu (untuk mencari-cari kesalahannya-pen) dan “Janganlah bertajassus” yaitu janganlah engkau mengamati apa yang dilakukannya karena sesungguhnya hal ini terlarang dan termasuk hal-hal yang diharamkan oleh Allah.

Hak yang ke empat

Yaitu engkau menjauhi sifat su’udzon (berburuk sangka) terhadap saudaramu karena berburuk sangka terhadapnya berlawanan dengan konsekuensi dari persaudaraan. Konsekuensi dari Ukhuwwah adalah adanya kejujuran, kebaikan, dan ketaatan diantara dua orang yang bersaudara. Dan hal ini merupakan asalnya seorang muslim. Asalnya seorang muslim dia adalah orang yang taat kepada Allah. Dan jika muslim tersebut termasuk kawan-kawan dekatmu maka dia memiliki dua hak, hak yang umum dan hak khusus yaitu engkau menjauhi sifat bersu’udzon terhadapnya dan engkau menjaga dirimu dari berburuk sangka karena Allah melarang berburuk sangka. Allah berfirman:

اِجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

Jauhilah kalian dari kebanyakan persangkaan, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa” (QS Al-Hujurot 12)

Berkata para ulama tatakala menafsirkan firman Allah ini, bahwasanya prasangka ada yang tercela dan ada prasangka yang terpuji. Manakah prasangka yang terpuji?, yaitu prasangka yang termasuk bagian dari tanda-tanda dan indikasi-indikasi yang ada pada para hakim dan para pendamai dan pemilik kebaikan yang hendak menasehati atau hendak menegakkan tanda-tanda dan indikasi-indikasi di depan hakim. Seorang hakim menegakkan hujjah dan menuntut bayyinah (bukti). Dan banyak hujjah dan bukti-bukti yang dibangun diatas persangkaan namun pada kondisi seperti ini wajib untuk diambil dan digunakan sebagai hujjah. Adapun menjauhi kebanyakan persangkaan yaitu prasangka buruk terhadap saudaramu sesama muslim, engkau berprasangka jelek terhadap saudaramu padahal Rasulullah telah bersabda: إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ (Hati-hatilah kalian terhadap prasangka). Prasangka dalam hadits ini umum mencakup persangkaan terhadap perkataan maupun persangkaan terhadap perbuatan saudara فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذّبُ الْحَدِيْثِ (Karena sesungguhnya prasangka adalah berita yang paling dusta20). Dan ini adalah teks sabda Rasulullah bahwasanya prasangka adalah berita yang paling dusta yang terdapat dalam hatimu. Jika jiwamu mengabarkanmu dari dalam dirimu dengan persangkaan-persangkaan, ketahuilah bahwasanya hal itu adalah berita yang paling dusta. Jika demikian maka hak saudaramu atas dirimu yaitu tidak berprasangka kepada dia kecuali persangkaan yang baik dan engkau menjauhi prasangka buruk terhadapnya sebagaimana Allah memerintahkan hal itu kepadamu dengan firmannya.:

اِجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

Jauhilah kalian dari kebanyakan prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa” (QS Al-Hujurot 12)

Maka prasangka buruk merupakan dosa bagi pelakunya, dia berdosa karena dia telah menyelisihi asal21.

Imam Ahmad telah meriwayatkan dalm kitab Az-Zuhud dan diriwayatkan juga oleh yang lainnya bahwasanya Umar menasehati:

لاَ تَظُنَّنَّ بِكَلِمَةٍ خَرَجَتْ مِنْ أَخِيْكَ سُوْءً وَأَنْتَ تَجِدُ لَهَا فِي الْخَيْرِ مَحْمَلاً

Janganlah engkau menyangka sebuah kalimat yang keluar dari (mulut) saudaramu dengan prasangka yang buruk padahal kalimat tersebut masih bisa engkau bawakan pada (makna) yang baik”.

Perhatikanlah Umar melarang prasangka buruk terhadap perkataan selama perkataan masih bisa dibawakan pada makna yang benar, masih mengandung makna yang baik, maka janganlah engkau berprasangka buruk terhadap saudaramu, karena asalnya dia tidaklah berkata kecuali (menginginkan) kebaikan, dia tidak (menginginkan) mengucapkan kebatilan. Jika perkataannya masih mengandung makna yang baik maka bawalah perkataan tersebut pada makna yang baik maka selamatlah saudaramu dari kritikan dan selamatlah ia dari prasangka buruk dan selamatlah engkau dari dosa dan dia juga selamat dari diikuti dan dicontohinya kesalahannya22. Oleh karena itu berkata Ibnu Mubarok saorang imam dan mujahid yang masyhur: الْمُؤْمِنُ يَطْلُبُ الْمَعَاذِيْرَSeorang mu’min mencari udzur-udzur (bagi saudaranya)23”, yaitu dia mencari udur (bagi saudaranya) karena kondisi (kemungkinan-kemungkinan) banyak. Dan syaitan datang kepada seorang muslim lalu dia menentukan salah satu kondisi (kemungkinan) dari kondisi-kondisi (kemungkinan-kemungkinan) yang ada, syaitan datang lalu menentukan makna perkataan –yang diucapkan oleh saudaranya- dengan satu mana (yaitu makna yang buruk) sehingga menimbulkan permusuhan dan kebencian. Allah berfirman:

إِنَّمَا يُرِيْدُ الشِّيْطَانُ أَنْ يُوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُوْنَ

Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kalian lantaran (meminum) khamar (arak) dan berjudi itu, dan menghalangi kalian dari mengingat Allah dan sholat, maka berhentilah kalian (dari mengerjakan pekerjaan itu)” (QS Al-Maidah 91)

Syaitan menentukan bagimu bahwasanya tafsir dari kondisi ini adalah begini saja, bahwasanya tafsir dari perkataan ini adalah ini saja (tidak ada tafsiran atau kemungkinan yang lain-pen) hingga engkau berprasangka buruk lalu engkaupun berdosa, hingga muncul antara engkau dan saudaramu jurang pemisah dan tidak adanya kecocokan.

Ada sebuah kaidah diantara kaidah-kaidah dalam memahami kalam (perkataan) yaitu bahwasanya setiap kalam ada dalalahnya (penunjukannya) dan penunjukan kalam menurut ahli ushul fiqh ada bermacam-macam, diantaranya ada yang disebut dengan penunjukan (dalalah) hamliah. Maksudnya penunjukan konteks perkataan terhadap makna perktaan tersebut. Ada perkataan (kalam) yang jika difahami secara langsung (tanpa memperhatikan konteks perkataan tersebut) maka akan menunjukan suatu makna tertentu. Namun jika diperhatikan siyaq (konteks) perkataan tersebut yaitu dengan memperhatikan kalimat yang sebelum dan seudahnya maka akan menjelaskan maksud –yang sesungguhnya dari perkataan tersebut-. Jika perkataan bersumber dari seorang mu’min, bersumber dari orang yang terjalin antara engkau dan dia tali persaudaraan, yaitu engkau mendengarnya mengucapkan suatu perkataan, maka janganlah kemudian syaitan datang kepadamu lalu menghembuskan kepada engkau agar membawa perkataan tersebut pada makna yang jelek, akan tetapi bawalah perkataan saudaramu itu pada makna yang baik maka akan tegak dalam hatimu kasih sayang terhadap saudara-saudaramu dan juga syaitan tidak masuk diantara engkau dan saudara-saudaramu. Oleh karena itu memperhatikan dilalah hamliah -untuk menunjukan maksud dari perkataan- adalah sangat penting. Dan inilah yang menjadi sandaran bagi para ahli ilmu dalam memahami satu perkataan, demikian juga merupakan sandaran bagi orang-orang sholeh dalam memahami perkataan manusia karena manusia hanyalah dipahami maksud perkataan mereka dengan memperhatikan seluruh perkataan tersebut bukan dengan hanya mengambil sebagian lafal dari perkataan tersebut. Sesungguhnya lafal-lafal (ucapan) terkadang mengkhianati pengucapnya24, namun jika telah diketahui maksud (baiknya) dengan memperhatikan seluruh perkataannya maka dia diberi udzur. Telah kita jelaskan –pada pelajaran yang lalu- bahwasanya diantara perkataan-perkataan manusia –dan ini lebih aula (lebih utama)25– ada yang mutsaybih yang samar dan terancukan maknanya bagi orang yang mengamatinya dan yang mendengarnya. Jika dia melihat perkataan –yang mutasyabih- tersebut sambil mencari udzur bagi pengucapnya, sambil berusaha membawa makna kalam tersebut pada makna yang paling baik maka dia akan santai dan membuat santai orang lain dan hak saudaranya tersebut akan langgeng dan dia telah menunaikan hak saudaranya.

Jika demikian maka siapa yang menafsirkan perkataan saudaranya dengan penafsiran yang salah, yaitu dengan menambah-nambahinya atau dengan membawanya pada makna yang paling jelek berarti dia tidak menunaikan hak saudaranya.

Demikian juga pada perbuatan-perbuatan. Misalnya saudaramu berbuat suatu tindakan tertentu di depan engkau atau mengucapkan suatu perkataan, tiba-tiba ada orang lain –diantara yang hadir- yang menoleh kepada orang yang disampingnya lalu memandangnya dengan suatu pandangan, maka datanglah syaitan kepadanya (kepada pembicara) lalu berkata “Sesungguhnya sifulan itu tidaklah memandang kepada teman yang disampingnya kecuali karena dia mengkritik perkataanmu” atau “Kecuali karena mencela perkataanmu” dan yang semisalnya. Demikian syaitan juga turut andil dalam menafsirkan perbuatan-perbuatan, karena perbuatan juga memiliki kemungkinan-kemungkinan tafsiran yang banyak. Hanya sedikit orang yang bertanya kepada saudaranya :”Kenapa engkau berbuat seperti ini, sesungguhnya ada ganjalan dihatiku –melihat perbuatanmu itu-?”, hanya sedikit yang melakukan hal ini (tabayyun). Oleh karena itu syaitan datang dan berkata: “Perbuatannya itu karena itu dan itu”, “Dia berbuat demikian karena karena hal ini…”’ “Maksud perbuatannya adalah ini..”, “Tindak-tanduknya itu hanyalah untuk mendapatkan sesuatu…”, “Dia berbuat demikian karena ingin ini dan itu..”26 Perbuatan dan tindakan banyak sekali kemungkinan-kemungkinannya. Maka jika engkau membawa perbuatan-perbuatan tersebut pada kemungkinan tertentu berarti engkau telah berbuat pelanggaran terhadap dirimu sendiri dan engkau tidak menghargai akal dan fikiranmu karena engkau telah menjadikan kemungkinan-kemungkinan yang banyak hanya menjadi satu kemungkinan. Yang kedua engkau telah berbuat pelanggaran pada saudaramu karena engkau telah membawa perbauatannya pada kemungkinan yang paling jelek bukan pada kemungkinan terbaik padahal Nabi telah bersabda: إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذّبُ الْحَدِيْثِ Berhati-hatilah kalian dari prasangka karena prasangka adalah berita yang paling dusta” 27

Hak yang kelima

Diantara hak-hak ukhuwwah engkau menjauhi perdebatan dengan saudaramu karena perdebatan memudarkan rasa cinta dan menyebabkan sirnanya persahabatan, merusak persahabatan yang telah lama terjalin, dan menimbulkan kebencian dan permusuhan serta terputusnya hubungan diantara manusia.

Apakah perdebatan itu?, yaitu bentuknya adalah terjadinya suatu dialog atau diskusi antara dua orang pria atau antara dua orang wanita dan seterusnya, antara orang tua dan anak muda. Jika mulai terjadi pembahasan dan dialog maka yang satu memegang teguh pendapatnya demikian pula yang lainnya berpegang teguh dengan pendapatnya maka timbullah perdebatan dan semakin sengit perdebatan tersebut. Inilah hakikat dari sebuah perdebatan, yaitu masing-masing dari kedua belah pihak saling memperjuangkan untuk memenangkan pendapatnya. Maka masing-masing mendatangkan dalil (untuk memperkuat pendapatnya) sambil mengangkat suara. Kemudian setelah itu timbullah dihati apa yang timbul.

Telah terjadi sedikit perdebatan diantara para sahabat. Pernah sekali Abu Bakar berkata kepada Umar: “Tidaklah yang engkau kehendaki melainkan untuk menyelisihiku”, padahal mereka para sahabat, semoga Allah meridhoi mereka. Maka wajib bagi seorang muslim bersama saudaranya dan sahabatnya untuk menjauhi perdebatan karena sisi pandang terhadap suatu permasalahan berbeda-beda. Semakin luas pandangan seorang dan semakin luas akal dan pengetahuannya maka dia akan mengetahui bahwa sisi pandang pada sebagian permasalahan ternyata luas, tidak terbatas pada satu sisi saja. Engkau berdiskusi dengan saudaramu pada satu permasalahan lalu engkau memandang permasalahan tersebut pada satu sisi dan saudaramu memandang dari sisi yang lain maka berselisihlah engkau dan dia. Dan jika kalian berdua berselisih maka masing-masing dari kalian memilki sisi pandang yang berbeda, lalu jika engkau mendebatnya sambil berdalil untuk menguatkan pendapatmu dan engkau bersikeras mempertahankan pendapatmu serta engkau mengangkat suaramu dan demikian pula saudaramu yang engkau debati hingga timbul permusuhan maka yang timbul adalah mafsadah (kerusakan) bukan kemaslahatan. Orang yang berakal melihat bahwasanya perkara-perkara yang biasanya diperdebatkan oleh manusia pada urusan-urausan mereka berbeda-beda sisi pandangnya Perkara-perkara tersebut bisa dipandang dari banyak sisi dan sebab perbedaan pandangan juga banyak. Dan terkadang datang orang ketiga dan orang keempat lalu masing-masing membawa pendapat yang baru, setiap yang baru datang memiliki pendapat yang baru dan sisi pandang baru pada permasalahan yang diperselisihkan. Jika demikian maka dialog tidak berarti perdebatan. Jika nampak bahwa diskusi mulai berubah menjadi perdebatan maka hendaknya engkau menarik diri dari perdebatan tersebut sama saja apakah kebenaran bersamamu ataukah engkau memandang bahwa kebenaran ada bersama saudaramu dan bukan padamu. Rasulullah telah bersabda:

مَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَهُوَ مُبْطِلٌ بَنَى اللهُ لَهُ بَيْتًا فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ مَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَهُوَ مُحِقٌّ بَنَى اللهُ لَهُ بَيْتًا فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ

Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan dan berada di atas kebatilan maka Allah akan bangunkan bagi dia rumah di pinggiran surga, dan barangsiapa yang meninggalkan perdebatan padahal dia berada di atas kebenaran maka Allah akan membangun baginya rumah di atas surga”28

Maka meninggalkan perdebatan adalah perkara yang terpuji dan hal ini merupakan hak seorang muslim atas saudaranya, yaitu dia tidak membiarkan saudaranya berdebat dengannya dan tidak mengulurnya dalam perbantahan dan membiarkannya mengeraskan suaranya sehingga terputuslah tali persaudaraan dan timbul perang mulut antara dia dan saudarnya itu, dan jika tidak timbul perang mulut maka akan timbul benih permusuhan dalam hatinya terhadap saudaranya, dia akan menuduh bahwa saudaranya itu menghendaki sesuatu sehingga menyelisihinya, atau berpendapat ini dan itu, atau dia tidak menghargainya, dan seterusnya.

Perdebatan itu ada sebab-sebabnya yang berkaitan dengan kejiwaan seseorang, maka hendaknya dia berusaha untuk mengobatinya:

  1. Diantara sebab-sebab tersebut dia menampakkan bahwasanya dia tidak menerima pendapat saudaranya dengan alasan berbeda cara pandangnya (padahal dia tahu bahwa pendapatnya keliru-pen). Dia mengeluarkan pendapat yang salah kemudian datang saudaranya mengatakan: “Engkau telah keliru, yang benar adalah demikian”. Hal ini menjadikannya merasa berat untuk mengaku salah. Sesungguhnya jika dia keliru maka -alhamdulillah- ulama juga pernah keliru bahkan dalam permasalahan yang menyangkut jiwa manusia lalu mereka ruju’ (kembali) dari kesalahan mereka tersebut. Sebagian mereka salah dalam permasalahan yang berkaitan dengan farji lalu mereka ruju’ dari pendapat mereka tersebut, yaitu para ulama keliru dalam permasalahan ijtihadiah. Mengakui kesalahan merupakan perkara yang terpuji dan bukanlah suatu aib. Maka setiap orang mengaku kesalahannya dan kembali pada kebenaran berarti dia memasang mahkota diatas kepalanya, dan hal ini menunjukkan bahwa dia telah melatih dirinya untuk tunduk kepada Allah dan menjadikan ibadahnya mengalahkan hawa nafsunya. Ini adalah salah satu sebab timbulnya perdebatan.
  2. Sebab yang lain adalah nafsu untuk memenangkan pendapatnya. Yaitu dia ingin bahwa akalnyalah yang paling cemerlang sehingga nampak bahwa dia yang paling unggul dalam memahami dari pada yang lainnya maka diapun menampakkan sisi-sisi pandang yang berbeda-beda. Saudaranya juga demikian ingin mengungulinya maka diapun membantahnya seraya berkata: “Apa yang engkau sebutkan keliru, point ini salah, yang benar adalah demikian” maka dia masuk dalam perdebatan dengan uslub (yang jelek) yang menimbulkan permusuhan dan kebencian dalam hati.
  3. Sebab yang lain adalah lalai untuk memperhatikan bahaya lisan. Sesungguhnya lisan pada yang diucapkannya dan gerakannya dihisab oleh Allah. Tidak suatu perkataanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. Allah berfirman:

لاَ خَيْرَ فِيْ كَثِيْرٍ مِنْ نَجْوَاهُمِ إِلاَّ مِنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوِ مَعْرُوْفٍ أَوْ إِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia” (QS An-Nisa 114)

Rasullah juga bersabda كُفَّ عَاَيْكَ هذَاTahanlah ini wahai Mu’adz” dan beliau mengisyaratkan pada lisan beliau, lalu Mu’adz berkata: “Apakah kita akan dihisab atas apa yang kita ucapkan?”, berkata Rasullah:”Ibumu kehilangan engkau wahai Mu’adz, bukankah yang menelungkupkan manusia di neraka diatas wajah-wajah mereka (atau Rasulullah berkata: “Diatas hidung-hidung mereka”) tidak lain kecuali hasil ucapan lisan-lisan mereka?”29. Maka diantara seab-sebab timbulnya pedebatan adalah tidak adanya perhatian untuk membenahi lisan (ucapan), memandang enteng lisan padahal lisan sebagaimana dikatakan “Kecil dzatnya namun besar bahayanya”, yaitu bahaya yang timbul akibat kesalahan lisan sangatlah besar. Dengannya bisa terpecah tali cinta kasih, dengannya timbul permusuhan, pertentangan, dengan memanfaatkan kesalahan lisan orang bisa menimbulkan kebencian diantara engkau dan sahabat-sahabatmu yang engkau cintai, banyak sekali bahaya yang timbul melalui kesalahan lisan. Maka barangsiapa yang tidak menjaga lisannya dari bahaya perdebatan pada permasalahan-permasalahan khilafiah yang sering terjadi bahan pembicaraan maka mau tidak mau dan pasti akan timbul hal yang tidak terpuji antara engkau dengan saudara-saudaramu.

Dan yang terakhir pada pembahasan tentang perdebatan bahwasanya perdebatan bertentangan dengan akhlak yang mulia. Sesungguhnya orang yang memperhatikan akhlak mulia yang diwajibkan atasnya maka dia tidak akan berdebat karena pada perdebatan terdapat sikap memenangkan pendapat pribadi dan ada keinginan untuk mengungguli saudaranya dan ini bertentangan dengan akhlak yang mulia. Tapi caranya engkau memaparkan pendapatmu dengan tenang dan penuh kelembutan. Jika saudaramu menerima pendapatmu maka alhamdulillah maka jika dia tidak terima maka -yang penting- engkau telah menjelaskan sisi pandangmu. Sebagian orang tatkala duduk di majelis, perdebatan menjadikan dia mengulang-ngulang satu poin (satu pokok permasalahan) hingga sepuluh kali atau dua puluh kali, padahal pokok pembicaraanya itu itu itu juga (dia tidak pindah pada pokok pembicaraan yang lain-pen), dia mengulang-ngulangnya dengan bentuk penyampaian yang lain. Apa sih yang menyebabkan dia berbuat demikian?, yang mendorongnya berbuat demikian adalah sikap tidak mau kalah atau ada sebab-sebab yang lainnya yang Allah lebih tahu, atau karena lalai terhadap apa yang diwajibkan atas dirinya. Maka jika engkau memaparkan pendapatmu satu kali kemudian telah dipahami (oleh saudaramu dan dia tidak menerima –pen) maka jangan kau debat dia (jangan kau mbulet (muter-muter) pada pembicaraanmu itu-pen) karena hakikat perdebatan bertentangan dengan akhlak yang mulia. Dan seorang muslim diperintahkan untuk membaguskan akhlaknya dan Nabi dalam banyak sabda-sabda beliau telah memrintah kita untuk berakhlak mulia.30

Hak yang keenam

Diantara hak-hak persaudaraan adalah engkau berbuat baik dengan lisanmu demi saudaramu. Lisan sebagaimana engkau menahannya dari berucap demi menjaga kehormatan saudaramu maka disini diantara hak-hak persaudaran engkau berbuat baik dengan perkataan dan ucapan demi saudaramu. Karena persahabatan dan persaudaraan bisa terjalin apakah dengan memandang bentuk tubuh saja (yaitu bertemu saja)?, ataukah terjalin karena saling berbicara (bertegur sapa dan bercengkerama)?. Sesungguhnya persaudaraan terjalin dan dibangun dengan adanya pembicaraan. Gerakan lisan (ucapan) dari yang ini demikian gerakan lisan dari yang lainnya menjalin kedekatan diantara dua hati. Oleh karena itu engkau harus berbuat baik dengan ucapan dan perkataan untuk saudaramu. Dan hal ini ada bentuk-bentuknya:

  1. Engkau mengucapkan perkataan untuk menunjukan kasih sayang pada dirinya, yaitu janganlah engkau pelit berucap untuk mengungkapkan kecintaanmu pada saudaramu. Nabi bersabda:

إِذَا أَحَبَّ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُعْلِمْهُ فَإِذَا أَعْلَمَهُ فَلْيَقُلِ الاخَرُ أَحَبَّكَ اللهُ الَّذِي أَحْبَبْتَنِيْ فِيْهِ

Jika salah seorang dari kalian mencintai saudaranya hendaknya dia mengabarkan saudaranya31 tersebut. Jika dia telah mengabarkannya maka hendaknya saudaranya itu mengucapkan “Semoga Allah -yang engkau mencintaiku karena-Nya- juga mencintaimu”

Ini merupakan bentuk kebajikan dengan perkataan, dan hal ini menimbulkan kecintaan dan kasih sayang. Diantara manusia ada orang yang mengucapkan kalimat ini namun dia tidak jujur takala mengucapkannya atau dia tidak mengerti hakikat makna kalimat ini. أُحِبُّكَ فِيْ اللهِAku mencintaimu karena Allah”, jika engkau mengucapkan kalimat ini kepada saudaramu maka artinya di dalam hatimu ada kecintaan terhadap saudarmu itu yaitu kecintaan khusus karena Allah dan demi Allah yang hal ini mengharuskan engkau menjaga hak-haknya. Adapun jika engkau mengatakan kepadanya “Aku mencintaimu karena Allah” lalu engkau sebenarnya tidak menjaga haknya kalau begitu apa hakikat mencintai saudara?. Jika demikian maka yang pertama engkau menunjukan rasa cintamu kepada saudarmu seiman seperti dengan engkau mengucapkan kalimat ini, engkau berbicara dengannya dengan sebaik-baik perkataan. Allah berfirman:

وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُوْلُ الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ أِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ

Dan katakanlah pada hamba-hamba-Ku “Hendaknya mereka mengucapkan perkatan yang paling baik”. Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan diantara mereka” (QS Al-Isro’ 53)

Allah berfirman: “Dan katakanlah pada hamba-hamba-Ku “Hendaknya mereka mengucapkan perkatan yang paling baik”, ini termasuk berbuat kebajikan dengan perkataan demi saudara, yaitu tatkala engkau bermu’amalah dengan saudara-saudaramu sesama muslim atau dengan sahabat karibmu atau dengan kaum muslimin pada umumnya, hendaknya engkau memilih lafal yang baik, itu sudah cukup?, belum cukup, tetapi hendaknya engkau memilih lafal atau perkataan yang terbaik karena Allah memerintahkan hal itu.

وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُوْلُ الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ أِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ

Dan katakanlah pada hamba-hamba-Ku “Hendaknya mereka mengucapkan perkatan yang paling baik”. Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan diantara mereka”

Maka jika engkau bermesaraan dengan saudaramu dengan mengucapkan perkataan yang terbaik yang kau temukan maka ini menimbulkan jalinan kasih sayang di hati. Dan hal ini menimbulkan di masyarakat kaum muslimin dan di hati-hati kaum mu’minin, antara satu dengan yang lainnya, menimbulkan kebaikan-kebaikan yang banyak sekali yang tidak cukup untuk dipaparkan di sini.

  1. Diantara bentuk berbuat baik dengan lisan demi saudara adalah engkau memujinya namun tidak dihadapannya. Jika engkau bergaul dengan seseorang dan engkau tahu bahwa saudarmu ini memiliki sifat-sifat yang terpuji maka pujilah dia namun tidak dihadapannya. Karena jika engkau memujinya dihadapannya jadilah ini terlarang karena hal itu menumbuhkan sifat ujub pada dirinya, tapi pujilah dia tatkala dia tidak dihadapanmu dan pujianmu itu akan sampai juga kepadanya maka akan tumbuh kecintaan yang sejati dihatinya ini yang pertama. Yang kedua pujianmu terhadap saudaramu dihadapan kawan-kawanmu yang lain akan menjadikan mereka bersungguh-sungguh meneladani kebaikan-kebaikannya dan mereka mengetahui bahwa kebaikan-kebaikan tersebut banyak orang mempraktekannya. Seseorang jika disebutkan kebaikan kepadanya maka dia termotifasi untuk melaksanakannya, dan jika disebutkan kejelekan-kejelekan dihadapannya maka dia akan termotifasi untuk mengerjakannya. Maka menyebutkan kebaikan-kebaikan dimajelis-majelis itulah yang semestinya dilakukan. Adapun menyebutkan kejelekan-kejelekan, kecacatan, dan aib-aib, itulah yang wajib untuk dijauhi karena hal ini bisa memudahkan orang untuk mencontohi para pelaku kejelekan-kejelekan tersebut. Dan pada penyebutan kebaikan-kebaikan dan pujian terhadap perkara pelakunya menyebabkan orang termotivasi untuk mencontohi mereka. Dengan demikian maka termasuk hak saudaramu atas dirimu jika engkau melihat suatu kebaikan pada dirinya maka jangan kau sembunyikan, namun jika engkau melihat kejelekan pada dirinya maka sembunyikanlah dan pada hal ini terdapat maslahat yang telah diketahui bersama. Faedah yang lain, jika dia dipuji maka akan masuk kegembiraan tatkala engkau kabarkan dia (bahwasanya ada saudaranya yang telah memujinya), (engkau kabarkan padanya): “Sebagian ikhwah tadi memujimu di majelis” atau “Sifulan telah memujimu”, karena dia tidak tahu bahwa ada yang memujinya, tatkala dia mengetahui sifulan telah memujinya maka timbullah dalam hatinya kecintaan terhadap sifulan tersebut. Demikianlah, manusia itu suka dan cinta kepada orang yang memuji mereka.

أَحْسِنْ أِلَى النَّاسِ تَسْتَعْبِدُ قُلُوْبَهُمُ فَطَالَمَا اسْتَعْبَدَ الإِنْسَانَ الإِحْسَانُ

Berbuat baiklah kepada manusia maka engkau akan menundukan hati-hati mereka, betapa kuat perbuatan baik menundukan manusia.”

Berbuat baik bisa dengan perkatan sebagaimana bisa pula dengan perbuatan. Jika engkau mendengar ada orang yang memuji saudaramu lalu engkau mengabarkannya (engkau katakan): “Alhamdulillah, demi Allah sifulan telah memujimu” atau “Si fulan menyebutkan kebaikan tentangmu, kami mohon kepada Allah agar meneguhkanmu…” dan yang semisal perkatan ini, maka hal ini memotivasi dia (untuk semakin berbuat kebaikan). Perkara yang lain, hendaknya yang dipuji ini sadar tatkala dia dipuji bahwa karunia yang Allah berikan padanya sangat besar dan hendaknya dia bersyukur dengan terus mempertahankan kebaikan yang dia dipuji karenanya dan jangan tertipu dengan dirinya sendiri.

  1. Diantara bentuk sumbangan lisan kepada saudara dia bersyukur atas kebaikannya dan atas mu’amalah saudaranya kepadanya dengan baik karena Nabi bersabda:

لاَيَشْكُرُ اللهَ مِنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ

Tidaklah bersyukur kepada Allah orang yang tidak bersyukur (berteima kasih) kepada manusia”32

demikian juga sabda beliau: مَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوْفًا فَكَافِئُوْهُBarangsiapa yang berbuat kebaikan pda kalian maka balasilah dengan setimpal33, dan jika engkau tidak mendapatkan sesuatu yang setimpal untuk membalas kebaikannya maka balaslah dengan kebaikan yaitu engkau mendoakannya dan berterimakasih kepadanya, dan ini merupakan hak seorang saudara atas saudarnya yang lain. Diantara manusia ada yang taunya hanya mengambil, menerima, dan menerima, dia tidak membalas kebaikan tersebut, tidak juga memuji, bahkan tidak juga mengingat kebaikan yang telah diterimanya dari saudaranya. Jika memang engkau tidak mampu untuk berterimakasih kepada saudaramu dengan perkataan maka tulislah terimakasihmu di surat, dengan kertas, dengan secuil kertas, karena sesungguhnya hal ini memberikan pengaruh dan ada motivasi untuk mendatangbi pintu-pintu kebaikan. Diriwayatkan dari Ali bahwasanya dia berkata:

مَنْ لَمْ يَحْمَدْ أَخَاهُ عَلَى حُسْنِ النِّيَّةِ لَمْ يَحْمَدْهُ عَلَى حُسْنِ الصَّنِيْعَةِ

Barangsiapa yang tidak memuji saudaranya atas niat baik saudaranya itu maka dia tidak akan memuji perbuatan baik saudaranya itu”34

Dan ini merupakan martabat yang tinggi, yaitu barangsiapa yang tidak memuji saudaranya atas niatnya yang baik maka dia tidak akan memuji saudaranya itu atas perbuatannya yang baik. Karena saudaramu tatkala berbuat baik pada engkau maka semenjak awal telah membaguskan niatnya denganmu dan dia bermu’amalah denganmu karena menghendaki kebaikan. Terkadang dia telah berbuat baik padamu, atau dia ingin berbuat baik kepadamu namun tidak sempat maka hendaknya engkau berterimakasih padanya walaupun hanya karena niatnya yang baik (ingin berbuat baik padamu) yang ada pada hatinya, karena hal ini akan menjalin tali persaudaraan dan memotivasinya untuk berbuat kebajikan dan masing-masing akan berbuat baik pada yang lainnya. Barangsiapa yang tidak memuji saudaranya atas niatnya yang baik maka dia tidak akan memuji saudaranya itu atas perbuatannya yang baik, yaitu kalau seandainya saudaranya itu berbuat baik padanya maka mungkin saja dia tidak memuji saudaranya itu.

Hak yang ketujuh

Termasuk hak-hak persaudaraan yaitu memaafkan saudarnya yang bersalah keapdanya. Pembahasan ini sangatlah luas, dan pembahasan ini merupakan pembahasan yang agung karena tidaklah ada dua orang yang sahabat atau dua orang saudara atau lebih kecuali pasti ada diantara mereka yang berbuat kesalahan. Pasti salah satu melihat kesalahan yang lain, ketergelinciran yang lain, pasti akan timbul darinya luka karena orang-orang adalah manusia dan manusia mesti bersalah. Rasulullah bersabda: كُلُّكُمْ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخّطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَSetiap kalian pasti bersalah dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat35, maka diantara hak-hak persaudaran adalah engkau memaafkan kesalahan saudaramu.

Kesalahan ada dua macam, kesalahan dalam masalah agama dan kesalahan yang menyangkut hak engkau. Atau dengan kata lain kesalahan yang berkaitan dengan hak Allah dan kesalahan yang berkaitan dengan hak engkau.

Jika kesalahan menyangkut masalah agama (hak Allah), maka jika dia meninggalkan suatu kewajiban dan berma’siat maka bentuk maaf engkau pada kesalahan seperti ini adalah engkau tidak menyiarkan dan membeberkannya dan engkau berusaha untuk meluruskannya karena kecintaanmu kepadanya hanyalah karena Allah. Dan jika semata-mata karena Allah maka hendaknya engkau menegakkan saudaramu diatas syari’at dan engkau menegakkannya diatas peribadatan kepada Allah, ini merupakan konsekuensi kecintaan karena Allah. Jika kesalahannya berkaitan dengan agama maka engkau dengan apa yang merupakan kewajibanmu, engkau berusaha untuk meluruskannya. Jika dengan nasehat bisa meluruskannya maka nasehatilah, jika yang meluruskannya adalah dengan menghajrnya (memutuskan hubungan dengannya) maka hajrlah dia. Dan Al-Hajr ada dua macam. Ada hajr ta’dib dan ada hajr uqubah. Ada hajr untuk kemaslahatanmu dan ada hajr untuk kemaslahatan orang banyak pada umumnya36. Jika saudaramu melakukan kemaksiatan maka jika hajr bermanfaat bagi dirinya maka hajrlah dia. Jika terjalin diantara dua orang persaudaran dan persahabatan sejati yang dimana salah satu tidak bisa lepas pasti membutuhkan yang lain, lalu salah satunya melihat yang lainnya berbuat kesalahan sangat besar yang menyangkut hak Allah dan dia tahu bahwa jika dia meninggalkan saudarnya yang bersalah itu akan menjadikannya sedih, jika dia bertemu dengannya dengan wajah yang tidak seperti biasanya maka akan timbul dihatinya bahwa dia telah berma’siat dan dia akan merasa bahwa ma’siat tersebut besar, yang hal ini karena pasti butuh kepadanya, maka yang seperti ini digunakan praktek hajr kepadanya, karena hajr dalam kondisi seperti ini memperbaiki keadaan. Adapun jika tidak bermanfaat hajr tersebut maka tidaklah dihajr. Dan hajr adalah jenis didikan yaitu untuk memperbaiki. Oleh karena itu kondisi Nabi bervariasi terhadap orang-orang yang bersalah, yang bermaksiat. Nabi menghajr sebagian dan Nabi tidak menghajr sebagian yang lain. Berkata Ulama: “Dipraktekan hajr pada orang yang bermanfaat baginya kalau di hajr yaitu jika hajr meluruskannya, dan ditinggalkan praktek hajr jika tidak bisa meluruskannya”.

Adapun jika kesalahan menyangkut hak engkau maka hak ukhuwwah yang pertama jangan engkau besar-besarkan kesalahan tersebut. Datang syaitan dan menghembuskan di hati, lalu dia ulang-ulangi perkataan (saudaranya yang salah) tersebut dalam hatinya, dia ulang-ulangi tindakan (saudarnya yang keliru) tersebut dalam hatinya hingga diapun merasa kesalahan tersebut sangat besar, hingga terputuslah tali cinta dan tali persaudaraan lalu setelah tadinya ada kecintaan dan persaudaraan setelah itu timbul hajr dan putus hubungan hanya karena dunia, bukan karena Allah. Cara mengobatinya engkau mengingat dan melihat kebaikan-kebaikannya, engkau berkata: “Kesalahannya itu merupakan musibah bagiku, dia salah kepadaku kali ini, dia telah menghinaku dengan perkataannya” -baik didepanmu ataupun dibelakangmu-, namun lihatlah kepada kebaikan-kebaikannya, ingatlah bagaimana dia telah bergaul dengan baik padamu, ingatlah persahabatannya yang sejati selama bertahun-tahun yang silam bersamamu atau pada kondisi-kondisi yang lampau. Maka engkau membesar-besarkan kebaikannya dan engkau meremehkan kesalahannya hingga tetap terjalin tali persaudaraan diantara kalian dan tidak terputus cinta kasih yang telah lama terjalin.

Hak yang kedelapan

Termasuk hak-hak persaudaraan adalah gembira dengan apa yang Allah anugrahkan kepada saudaranya. Seseorang gembira demi saudarnya dengan apa yang dikaruniakan Allah pada saudaranya tersebut. Sesungguhnya Allah telah membagi-bagi diantara manusia akhlak-akhlak mereka sebagaimana Allah membagi-bagi rizki mereka diantara mereka. Allah memuliakan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Maka hak seseorang terhadap saudaranya jika Allah memberikan pada salah seorang dari saudara-saudaramu karunia dan kenikmatan maka engkau turut gembira akan hal itu, seakan-akan Allah memberikan karunia itu juga kepadamu. Ini merupakan konsekuensi ukhuwwah dan hal ini mejauhkan rasa hasad (dengki). Barangsiapa yang tidak gembira dengan karunia yang Allah berikan pada saudarnya maka dia mungkin saja hanya sekedar tidak gembira dan bisa jadi dia tidak gembira dan disertai dengan hasad37. Ini merupakan perusak persaudaraan. Sesungguhnya engkau terkadang bisa melihat bahwa seseorang jika melihat saudaranya mendapatkan kenikmatan atau dia melihat saudaranya mendapatkan kebaikan dan karunia dari Allah dan Allah meganugrahinya kenikmatan khusus yang dengannya dia menjadi istimewa diantara orang-orang yang di sekitarnya atau menjadi istimewa diantara sahabat-sahabatnya maka orang inipun mengakui kenikmatan yang ada pada saudaranya (namun dia berkata): “Kenapa dia diberikan kenikmatan yang khusus ini?”, atau dia memandang dalam dirinya bahwa saudaranya itu tidak berhak mendapatkan semua itu atau yang semisalnya. Ini merupakan perusak tali persaudaraan. Yang wajib adalah engkau terbebaskan dari kedengkian (hasad) dan wajib bagi engkau untuk gembira demi saudaramu dan engkau menginginkan kebaikan baginya sebagaimana engkau inginkan bagimu. Rasulullah telah bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga dia menyukai (menginginkan) bagi saudaranya apa yang dia sukai bagi dirinya sendiri”

Para ulama berakata: لاَ يُؤْمِنُ (Tidaklah beriman) yaitu iman yang sempurna حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (hingga dia menyukai (menginginkan) bagi saudaranya apa yang dia sukai bagi dirinya sendiri”), yaitu engkau suka kalau engkau kaya maka demikian juga engkau suka agar saudaramu juga kaya. Engkau suka jika engkau berilmu, suka jika engkau dipuji, maka demikian juga engkau suka saudaramu berilmu dan dipuji, dan demikianlah pada segala perkara yang bermacam-macam. Untuk menghilangkan hasad yaitu dengan engkau bergembira terhadap karunia yang Allah berikan pada saudaramu seakan-akan Allah mengkhususkan karunia itu kepadamu juga. Seorang mu’min seyogyanya dan disunnahkan bahkan wajib baginya untuk menginginkan bagi saudara-saudaranya apa yang dia kehendaki bagi dirinya. Sabda Rasulullah :

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga dia menyukai (menginginkan) bagi saudaranya apa yang dia sukai bagi dirinya sendiri”

yaitu berupa kebaikan sebagaimana dijelaskan pada riwayat yang lain, yaitu perkara-perakara kebaikan secara umum. Maka inginkanlah kebaikan bagi saudaramu sebagiamana kau inginkan bagimu dan janganlah engkau hasad pada seorangpun pada perkara apapun dari karunia Allah yang Allah berikan padanya.

Pada harta. Jika Allah memberi harta pada saudaramu dan misalnya engkau tidak berharta atau hartamu sedikit dan saudaramu itu terpandang dan memiliki harta yang banyak sehingga engkau heran melihat tindak-tanduknya, engkau ta’jub dengan benda-benda yang dibelinya, engkau heran dengan kondisinya, engkau heran dengan kemurahan dia, dan seterusnya maka pujilah Allah yang telah menjadikan saudaramu pada martabat seperti ini, seakan-akan engkau juga berada pada martabat ini. Maka kondisikanlah dirimu merasakan apa yang Allah karuniakan pada saudaramu seakan-akan Allah mengaruniakannya kepadamu.

Demikian juga pada ilmu. Diantara manusia ada yang tidak gembira dengan ilmu yang Allah anugrahkan kepada saudaranya. Contohnya dia mendengar saudaranya membahas dengan baik sebuah permasalahan atau dia berbicara dengan baik di suatu tempat, atau berkhotbah dengan bagus, atau memberi pengaruh kepada mayarakat dengan pengaruh ilmu, dia menyampaikan ilmu dengan baik dan yang semisalnya, jadilah ini semua (kelebihan-kelebihan yang terdapat pada saudaranya) terbayangkan dalam batinnya dan dia tidak suka saudaranya berada pada martabat seperti ini, dalam kondisi seperti ini, maka hal ini tidak diperbolehkan. Bahkan termasuk hak-hak persaudaraan engkau gembira bahwa saudaramu berilmu. Jika misalnya engkau tidak seperti dia dalam ilmu atau engkau ketinggalan dia dalam ilmu dan dia lebih tajam pemahamannya dan lebih kuat hafalannya atau yang semisalnya dia mendahului engkau, maka pujilah Allah yang telah menjadikan dan menyiapkan dari umat ini orang yang menunaikan kewajiban ini (yaitu kewajiban menuntut ilmu dan menyebarkannya –pen) dan dia cemerlang sekali dalam ilmu, dan janganlah engkau dengki pada saudara-saudaramu pada ilmu mereka.

Hasad (dengki) adalah penyakit yang membunuh, menghilangkan kebaikan-kebaikan sebagaimana sabda Nabi: إِيَّاكُمْ وَالتَّحَاسُدَ فَإِنَّهُ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارَ الْحَطَبَ Hati-hatilah kalian terhadap saling hasad, karena hasad memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar”38

Dan hasad terkadang pada ilmu, terkadang pada kedudukan, terkadang pada kedudukan, dan pada banyak perkara bisa timbul hasad. Demikian pula dua orang yang bersaudara dan bersahabat, yang satu meandang bahwa saudarnya lebih dikedepankan dari padanya, lebih didengar di majelis, lebih terpandang dan dimuliakan padahal pada hakekatnya tidaklah demikian (itu hanyalah perasaannya-pen), maka persaannya ini menjadikan pada hatinya sesuatu (tidak srek) terhadap saudaranya itu, dan hal ini tidak boleh dan ini termasuk hasad. Yang wajib baginya adalah untuk membebaskan diri dari hasad karena hasad hukumnya haram. Dan yang semestinya dia menginginkan bagi saudaranya apa yang dia inginkan bagi dirinya berupa kebaikan-kebaikan dan seakan-akan kenikmatan yang Allah anugrahkan pada saudaranya seakan-akan Allah anugrahkan kepadanya.

Demikian juga pada agama dan kesolehan. Diantara manusia ada yang Allah anugrahi dia dengan membukakan baginya pintu dari pintu-pintu ibadah, maka jadilah dia banyak berpuasa atau banyak sholat. Imam Malik pernah ditanya: “Engkau adalah seorang imam, dan kedudukanmu dihadapan manusia hingga mulia seperti ini, namun kami tidak melihat engkau banyak beribadah dan kami tidak melihat engkau banyak sholat, kami tidak melihat engkau banyak puasa, kami tidak melihat engkau berjihad di jalan Allah?”, maka berkata Imam Malik kepada sipenanya: “Sesungguhnya diantara manusia ada yang Allah bukakan baginya pintu sholat, diantara mereka ada yang Allah buka baginya pintu puasa, dan diantara mereka ada yang Allah buka baginya pintu sedekah, dan diantara manusia ada yang Allah buka baginya pintu jihad di jalan Allah, dan diantara manusia ada yang Allah buka baginya pintu ilmu. Dan telah dibukakan bagiku pintu ilmu dan saya ridlo dengan apa yang Allah bukakan bagiku.” Manusia beraneka ragam, maka jika seseorang melihat saudaranya banyak beribadah dan manusiapun memujinya dan dia tidak gembira akan hal itu maka hal itu bisa saja menjadikan dia menyebarkan aib saudaranya itu atau dia menyebarkan perkataan saudaranya yang keliru, pokoknya dia menyebarkan sesuatu yang bisa mengurangi martabat saudaranya itu. Hal ini tidaklah semestinya dia lakukan yang semestinya dia mencintai saudaranya itu sebagaimana mencintai dirinya dan beruasaha agar saudaranya itu dipuji orang walaupun saudaranya tidak tahu usaha baiknya tersebut karena perkaranya bukanlah dihadapan manusia namun dihadapan Allah, bahkan perkaranya adalah mengikhlaskan hati, membersihkan jiwa sehingga tidak ada tujuan jiwa kecuali Allah. Nabi telah bersabda:

أِنَّ اللهَ لاَيَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلاَ إِلَى أَجْسَامِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ

Sesungguhnya Allah tidaklah memandang kepada rupa-rupa kalian, juga tidak pada jasad-jasad kalian tetapi Allah melihat pada hati-hati kalian dan amal perbuatan kalian”39

Allah melihat kehati dan melihat amal perbuatan. Terkadang seseorang tidak dikenal dan tersembunyi, tidak seorangpun yang mengetahuinya namun dia disisi Allah berada pada tempat yang agung sebagaimana disebutkan dalam hadits:

إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ لَأَبَرَّهُ

Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah orang yang kalau dia bersumpah atas nama Allah maka Allah akan menunaikan (mengabulkan) sumpahnya”40

Disana ada hak-hak lain yang akan saya sebutkan dua diantaranya yaitu hak yang sembilan dan yang kesepuluh dan kalian perhatikan keduak hak tersbut lalu kalian jabarkan sendiri sebagaimana penjelasan kami.

Hak yang kesembilan

Hendaknya antara engkau dan saudaramu terjalin kerjasama dalam kebaikan dan kebajikan. Allah telah mmerintahkan hal itu dalam firmannya:

“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah kalian saling tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran” (QS Al-Maidah 2)

Hak yang kesepuluh

Dan yang terakhir hendaknya diantara saudara-saudara terjadi musyawarah (tukar pendapat) dan kesatuan diantara mereka, dan janganlah salah seorang dari mereka memutuskan perkaranya sendiri namun hendaknya dimusyawarahkan. Allah telah memuji orang-orang yang beriman yang bermusyawarah:

وَأَمْرُهُمْ شُوْرَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ

Dan urusan mereka (diputuskan) dengan bermusyawarah diantara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka” (Asy-Syuuro 38)

Dua hak ini, hak kesembilan dan hak kesepuluh butuh penjelasan yang penjang lebar namun waktu terbatas.

Saya mohon kepada Allah agar menjadikan kita seluruhnya orang-orang yang saling mencintai karena Allah yang Allah berkata kepada mereka:

أَيْنَ الْمُتَحَابُّوْنَ بِجَلَالِي, الْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ فِيْ طِلِّي يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلِّي

Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena Aku maka pada hari ini Aku naungi mereka dibawah naunganKu di hari yang tidak ada naungan kecuali naunganKu”41

Dan aku mohon kepada Allah agar menjadikan aku dan kalian termasuk orang-orang yang saling tolong-menolong dalam mengerjakan kebajikan dan ketaqwaan, termasuk orang-orang yang saling nasehat-menasehati untuk hal itu dan orang-orang yang berkorban demi kebaikan yang membukakan pintu-pintu kebaikan dan yang menutup pintu-pintu kejelekan dan menjadikan kita termasuk orang-oang yang mencari wajah Allah dengan amalan mereka, dan mengaruniakan kepada itu semua. Sesungguhnya tidak ada daya dan upaya kecuali dengan idzinNya. Kita mohon kepada Allah agar mengampuni kita dan kedua orang tua kita dan mengampuni saudara-saudara kita yang telah mendahului kita dengan keimanan dan juga mengampuni saudara-saudara kita kaum muslimin secara umum dan semoga Allah memberi petunjuk kepada kita menuju apa yang diridhoinya dan shalawat dan salam dan barokah semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad.42

 

 

Kota Nabi, 23 Desember 2004

Penerjemah :

Abu Abdilmuhsin ibnu Abidin As-As-Soronji

 

 

Daftar Pustaka

 

  1. ‘Aunul Ma’bud, Syamsulhaq Al-Adzim Abadi, darul Fikr
  2. Adabul ‘isyroh wa dzikrus suhbah wal ukhuwwah, Abul Barokaat, tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman
  3. Al-‘Ilal Al-Waridah fil Ahadits An-Nabawiyah. Al-Imam Ad-Daroquthni, tahqiq DR Mahfudzurrohman As-Silafi, Daru Taoibah
  4. Al-Mawaqif Al-Imaniyah, DR Ahmad Farid
  5. Fathul Bari, Ibnu Hajar, Darus Salam, cetakan pertama
  6. Majmu’ Al-Fatawa, Ibnu Taimiyah
  7. Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, Syaikh Abdulmuhsin Al-Abbad
  8. Shahih Al-Bukhori, Darus Salam
  9. Shahih Muslim, Darus Salam
  10. Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah, Syaikh Al-Albani, Darul Ma’arif
  11. Sunan Ibnu Majah, syarh As-Sindi, Darul Ma’rifah
  12. Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah, Ibnu Rojab Al-Hanbali, tahqiq Al-Arnauth
  13. Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah, Syaikh Al-Utsaimin
  14. Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah, Syaikh Sholeh Alu Syaikh
  15. Tuhfatul Ahwadzi, Al-Mubarokfuri, Dar Ihya At-Turots Al-‘Arobi
  16. Umdatul Qori, Al-‘Aini

 

 

 

 

 

 

1 HR Muslim no 54, Abu Dawud 5193, dan Tirmidzi 2689

2 Lihat penjelasan Syaikh Shalih Alu Syaikh dalam ceramah (tulisan) beliau yang berjudul Huquq Al-Ukhuwwah.

3 Lihat Mawaqif Imaniyah hal 450.

4 Disadur dengan bebas dari tulisan Syaikh Shalih Alu Syaikh dari ceramah beliau yang berjudul “Huququl Ukhuwah”

5 Karena persahabatan dengan saudara seiman adalah suatu bentuk ibadah kepada Allah, suatu amalan yang dicintai oleh Allah maka hendaknya dia ikhlas tatkala bersahabat dengan saudaranya –pen.

6 Bukan malah pura-pura tidak tahu akan kebutuhan dan kekurangan saudaranya padahal nampak jelas di deopan matanya bahwa saudaranya itu membutuhkan bantuannya, sabagaimana hal ini merupakan fenomena yang banyak tersebar diantara persahabatan dan persaudaraan masa kini. Wallhul musta’an.

7 HR Ibnu Majah no 2430 (Kitab As-Sodaqoot, bab Al-Qordh), hadits ini dho’if karena pada sanadnya ada dua orang rowi, yaitu Sulaiman bin Yusair (berkata Ibnu Hajar,”Dho’if) dan Qois bin Rumi (berkata Ibnu Hajar,”Majhul”), para ulama hadits telah bersepakat akan kelemahan kedua orang ini (lihat perkataan As-Sindi dalam syarh Sunan Ibni Majah 3/153, lihat juga ‘Ilal Ad-Daroquthni 5/157 soal no 789)

8 HR Al-Bukhori no 6011 dan Muslim no 2586

9 HR Al-Bukhori no 481, 2446, 6026 dan Muslim no 2585

10 Padahal apa sih susahnya??, kalau seperti ini saja dia pelit dan tidak perduli dengan saudaranya bagaimana jika harus berkorban yang lebih besar???, tentunya lebih pelit lagi.

11 HR Al-Bukhori no 2442 dan Muslim no 2580

12 Yaitu siapakah yang akan mengetahui kebutuhan orang cacat ini karena dia tidak bisa berbicara dan tidak bisa mendengar dan melihat?, maka Ar-Robi’pun mendatanginya untuk mengetahui kebutuhannya, kemudian memenuhi kebutuhannya tersebut.

13 HR Al-Bukhori 1742 dan 6043

14 Ada dua pendapat ulama tentang makna berpaling dalam hadits ini. Pertama, makna berpaling yaitu sipenyampai kabar tatkala hendak menyampaikan kabarnya menengok ke kanan dan ke kiri karena kahwatir ada yang mendengar. Sikapnya dengan memandang ke kanan dan kekiri menunjukan bahwa dia takut kalau ada orang lain yang ikut mendengar pembicaraannya itu dan dia mengkhususkan kabar ini hanya kepada yang akan disampaikan kabar tersebut. Seakan-akan dengan sikapnya itu ia berkata kepada yang akan disampaikan kabar,”Rahasiakanlah kabar ini!”. Pandapat yang kedua, makna berpaling yaitu setelah menyampaikan kabar dia berpaling dari yang disampaikan kabar (pergi meninggalkannya). Pendapat yang pertama dirojihkan oleh Syamsulhaq Al-‘Adzim Abadi. Dari penjelasan Syaikh Sholeh Alu Syaikh sepertinya beliau lebih condong kepada pendapat yang kedua. (Tuhfatul Ahwadzi 6/81, ‘Aunul Ma’bud 13/178)

15 HR At-Thirmidzi 1959 dan Abu Dawud no 4868, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani (As-Shahihah no 1090).

16 Maksudnya semua rahasia jika telah diketahui oleh lebih dari dua orang maka hal itu bukan rahasia lagi, karena jika orang kedua mengabarkan rahasia tersebut kepada orang ketiga biasanya rahasia tersebut akan segera diketahui oleh lebih banyak lagi karena orang ketiga tersebutpun akan membeberkan rahasia tersebut kepada orang yang keempat dan demikian seterusnya yang lama-kelamaan akhirnya menjadi “rahasia umum”

17 Menjaga rahasia bukanlah perkara yang mudah padahal dia merupakan amanah. Syaitan akan datang mengelitik hatinya agar membeberkan rahasia saudarnya tersebut. Hanya orang mulia yang bisa menjaga rahasia saudaranya. Berkata sebagian orang bijak: قٌلٌوْبُ الأَحْرَارِ قُبُوْرُ الأَسْرَارِHati-hati orang yang mulia merupakan kuburan bagi rahasia-rahasia”. Dikisahkan bahwa ada seseorang menyampaikan sebuah rahasia kepada sahabatnya. Tatkala dia selesai mengabarkannya dia berkata sahabatnya itu: “Telah engkau hafalkan?”, sahabatnya itu menjawab: “Tidak, bahkan saya telah melupakannya” (lihat Adabul ‘isyroh hal 33). Tatkala orang ini lupa berarti rahasia tersebut terkubur dalam hatinya dan tidak bakalan keluar dari hatinya.

Yang lebih menyedihkan lagi tatkala timbul perselisihan diantara dua orang yang dulunya bersahabat lalu masing-masing mengungkapkan rahasia temannya yang buruk demi menjatuhkannya. Dikatakan:

ليس الكريم الذي إن زلّ صاحبُه بثّ الذي كان مِنْ أسراره عَلِمَا

إن الكريم الذي تبقى مودته ويحفظ السِّرَّ إن صافى وإن صَرمَا

Bukanlah seorang yang mulia yang jika bersalah sahabatnya lalu dia sebarkan rahasia sahabatnya yang dulu dia ketahui. Sesungguhnya seorang yang mulia adalah yang tetap kecintaanya kepada sahabatnya dan tetap menjaga rahasia pribadinya tatkala dia bersahabat atau tatkala telah putus tali persahabatan” (lihat syair ini dalam Adabul ‘isyroh hal 33)

18 HR Al-Bukhori no 6064, 6066

19 Lihat Fathul Bari 10/592, Tafsir Ibnu Katsir Suarat Al-Hujuroot ayat 12

20 HR Al-Bukhori no 6066 dan Muslim no 2563

21 Yaitu asalnya seorang muslim adalah taat kepada Allah, sebagaimana baru saja lewat penjelasan Syaikh Soleh. Maka tatkala dia berprasangka buruk terhadap saudaranya muslim berarti dia telah menuduh bahwa saaudaranya muslim tersebut tidak taat. maka dia telah mengeluarkannya dari asal seorang muslim -pen.

Oelh karena itu berprasangka buruk adalah pekerjaan yang sia-sia yang pelakunya tidak menghasilkan apa-apa dengan perbuatannya, bahkan malah bisa mengantarkannya ke lembah dosa. Berkata Bakr bin Abdillah Al-Muzani (sebagaimana disebutkan dalam biografi beliau dalam Tahdzib At-Tahdzib):

إِيَّاكَ مِنَ الْكَلاَمِ مَا إِنْ أَصَبْتَِ فِيْهِ لأَمْ تُؤْجَرْ وَإِنْ أَخْطَأْتَ فِيْهِ أَثِمْتَ وَهُوَ سُوْءُ الظَّنِّ بِأَخِيْكَ

Waspadalah engkau dari perkataan yang jika perkataanmu itu benar maka engkau tidak mendapat pahala dan jika perkataanmu itu tidak benar maka engkau berdosa yaitu berprasangka buruk kepada saudaramu”

22 Yaitu jika engkau memahami perkataan saudaramu yang memiliki pengaruh di masyarakat, lantas engkau pahami perkataannya dengan membawanya pada makna yang jelek (padahal perkataannya masih bisa dibawa ke makna yang benar) maka masyarakat akan menyangka dia mengucapkan perkataan yang sesuai dengan tafsiran engkau (yaitu makna yang buruk) akhirnya merekapun mengikuti dan mencontohi perkataannya karena dia memiliki pengaruh –pen.

23 Hal ini juga sebagaimana perkataan Ibnu Mazin: الْمُؤْمِنُ يَطْلُبُ ْمَعَاذِيْرَ إِخْوَانِهِ وَالْمُنَافِقُ يَطْلُبُ الْعَثَرَاتِ Seorang mu’min mencari udzur bagi saudara-saudaranya dan orang munafiq mencari-cari kesalahan saudara-saudaranya”.

Berkata Abu Qilabah Abdullah bin Zaid Al-Jaromi (sebagaimana dinukil oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 2/285):

إِذّا بَلَغَكَ عَنْ أَخِيْكَ شَيْءٌ تَكْرَهُهُ فَالْتَمِسْ لَهُ الْعُذْرَ جهْدَكَ, فَإِنْ لَمْ تَجِدْ لَهُ عُذْرًا فَقُلْ فِيْ نَفْسِكَ : لَعَلَّ لأَخِيْ عُذْرًا لاَ أَعْلَمُهُ

Jika sampai kepadamu kabar tentang saudaramu yang kau tidak sukai maka berusahalah cari udzur bagi saudaramu itu semampumu, jika engkau tidak mampu mendapatkan udzur bagi saudaramu maka katakanlah dalam dirimu,”Mungkin saudaraku itu punya udzur yang tidak kuketahui””

Dan berkata Hamdun Al-Qossor: إِذَا زَلَّ أَخٌ مِنْ أِخْوَانِكَ فَاطْلُبْ تِسْعِيْنَ عُذْرًا, فَإِنْ لَمْ يَقْبَلْ ذّلِكَ فَأَنْتَ الْمَعِيْبُ Jika bersalah salah seorang dari saudaramu maka carilah sembilan puluh udzur untuknya, dan jika saudaramu itu tidak bisa menerima satu udzurpun (jika engkau tidak menemukan udzur baginya) maka engkaulah yang tercela” (Adbul ‘isyroh hal 19)

Berkata Abu Hatim bin Hibban (raudhotul uqola’ hal 131, sebagaimana dinukil oleh Syaikh Abbad dalam “rifqon” hal 26),”Wajib bagi seorang yang cerdik untuk melazimi (tetap di atas) keselamatan (hati dan lisannya-pen) yaitu dengan meninggalkan tajasuss (mencari-cari) aib orang lain serta menyibukkan dirinya untuk memperbaiki aibnya sendiri. Sesungguhnya barangsiapa yang sibuk mengurusi aibnya sendiri sehingga terlalaikan dari mengurusi aib orang lain maka dia telah menyantaikan tubuhnya dan tidak meletihkan hatinya. Semakin dia mengungkap dan mengenal aib-aib dirinya maka akan terasa semakin ringan baginya aib semisal aibnya yang nampak pada saudaranya. Adapun barangsiapa yang sibuk mengurusi aib-aib orang lain sehingga terlalaikan dari mengurusi aibnya sendiri maka hatinya menjadi buta dan letih badannya serta tidak mampu meniggalkan aib dirinya sendiri.”

Sungguh indah perkataan seorang penyair:

شَرُّ الْوَرَى بِعُيُوْبِ النَّاسِ مُشْتَغِلْ مِثْلُ الذُبَابِ يُرَاعِي مَوْطِنَ الْعِلَلْ

Seburuk-buruk manusia adalah yang sibuk mengurusi aib orang lain, ibarat seekor lalat yang hanya mencari-cari tempat yang kotor

Berkata Syaikh Abdurrozaq: “Pada umumnya manusia tidak melihat aib diri mereka. Engkau melihat salah seorang dari mereka berperilaku kasar namun dia memandang bahwa dirinya sangat lembut, bahkan sudah begitu dia sibuk mngkritik kesalahan orang lain. Barangsiapa yang mampu mengenal aib dirinya sendiri maka hal itu merupakan tanda kebaikan dan kesholehan dan merupakan awal timbulnya kebaikan yang banyak” (Faedah dari syaikh tatkala menjelaskan hadits no 18 dari Arbain Nawawiah)

24 Yaitu terkadang seseorang ingin mengungkapkan sesuatu namun dia ungkapkan dengan lafal-lafal yang maknanya bertentangan dengan maksudnya. Ini yang dalam istilah disebut “Kedahuluan lisannya”, yaitu lisan sudah berucap mendahului maksudnya sehingga maknanya jadi berbalik.-pen

25 Sesungguhnya perkataan Allah ada yang muhkam dan ada juga yang mutsyabih ditinjau dari yang mengamatinya, demikian juga pada kalam Rasulullah. Maksudnya dalil itu ada yang muhkam dan ada yang mutayabih, Demikian juga kalam ulama ada yang muhkam dan ada yang mutasyabih (sehingga sering para ahlul bid’ah berdalil dengan perkataan ulama ahlus sunnah yang mutasyabih untuk mendukung bid’ah mereka). Dan Syaikh Sholeh Alu Syaikh sering memperingatkan hal ini dalam ceramah-ceramah beliau. Sehingga sebagaimana tatkala memahami dalil yang mutsyabih harus dikembalikan pada dalil yang muhkam maka demikian pula tatkala memahami kalam ulama yang mutasyabih harus dikembalikan pada kalamnya yang muhkam, apalagi perkataan manusia yang awam -pen.

26 Demikianlah yang banyak terjadi di zaman yang penuh fitnah ini. Orang-orang mulai menilai isi hati manusia. Padahal Rasulullah saja tidak tahu isi hati manusia, bahkan beliau bersabda: “Sesungguhnya aku tidak diperintahkan untuk memeriksa isi hati manusia”

27 Merupakan jalan salafus soleh untuk mencari udzur bagi saudarnya. Dikatakan kepada Junaid: “Kenapa para sahabatmu makannya banyak?”, dia menjawab: “Karena mereka tidak minum khomr sehingga mereka lebih lapar”, dikatakan kepadanya: “Kenapa syahwat mereka besar?”, dia berkata: “Karena mereka tidak berzina dan tidak melakukan hal yang dilarang”. Demikianlah Junaid terus mencari udzur terhadap para sahabatnya (Lihat Adabul ‘isyroh).

28 Penulis tidak menemukan hadits dengan lafal مَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَهُوَ مُبْطِلٌBarang siapa yang meninggalkan perdebatan dan dia berada di atas kebatilan…”, adapun lafal yang penulis dapati adalah

مَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَهُوَ بَاطِلٌ لَهُ بُنِيَ قَصْرٌ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِوَ مَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَهُوَ مُحِقٌّ بُنِيَ لَهُ فِي وَسَطِهَا وَمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ بُنِيَ لَهُ فِيْ أَعْلاهَا

“Barangsiapa yang meninggalkan dusta dan dia diatas kebatilan maka akan dibangunkan baginya istana di pinggiran surga, dan barangsiapa yang meninggalkan perdebatan padahal dia berada di atas kebenaran maka akan dibangunkan baginya istana di tengah surga, dan barangsiapa yang membaguskan akhlaknya maka akan dibangunkan baginya istana di atas surga”

Lafal ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no 51), At-Thirmidzi (no 1993) dan berkata,”Hadits Hasan”.

Namun yang dimaksud dengan الْكَذِبَ (dusta) dalam hadits ini adalah berdusta tatkala perdebatan sebagaimana ditunjukan oleh lafal selanjutnya (Tuhfatul Ahwadzi 6/118), atau yang dimaskud adalah berdebat di atas kebatilan (sebagaimana penjelasan As-Sindi dalam syarh sunan Ibni Majah 1/39).

29 HR At-Thirmidzi no 2619 dan berkata,”Hadits Hasan Shahih”, dan Ibnu Majah no 3973

30 Berkata Abul Barokaat: “Diantara adab-adab pergaulan sedikit perselisihan dengan para sahabat dan berusaha sependapat dan sepakat dengan mereka selama tidak melanggar agama dan sunnah Nabi. Berkata Juairiyyah: “Saya berdoa kepada Allah selama empat puluh tahun agar Allah menjagaku dari menyelisihi para sahabatku” (Adabul ‘isyroh hal 36)

31 Hingga di sini lafal hadits di sunan At-Thirmidzi (no 2392) demikian juga di Al-Adabul Mufrod no 542. Lihat takhrij selengkapnya dalam As-Shahihah no 417 dari hadits sahabat Al-Miqdam bin Ma’di Karib.

Hadits ini punya syawahid diantaranya sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori dalam Al-Adabul Mufrod: “Mujahid berkata,”Seorang sahabat Nabi bertemu denganku kemudian dia memegang pundakku dari belakang dan berkata أَمَا إِنِّي أُحِبُّكِKetahuilah bahwa saya mencintaimu (karena Aallah)”, akupun menjawab أَحَبَّكَ الَّذِي أَحْبَبْتَنِيْ لَهُSemoga Allah Yang engkau mencintaiku karenaNya juga mencintaimu” (Sanadnya dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Sahihah no 418).

Syahid yang lain yaitu dari hadits Anas bin Malik beliau berkata,”Saya duduk di sisi Rasulullah, lalu lewat seorang laki-laki. Lalu berkatalah salah seorang (diantara yang sedang duduk bersama Rasulullah),”Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya mencintai laki-laki (yang lewat) ini”. Rasulullah berkata,”Apakah engkau telah mengabarkannya bahwa engkau mencintainya?”, orang itu berkata,”Tidak”, berkata Rasulullah,”Berdirilah dan kabrkanlah kepadanya”. Anas berkata,”Maka orang itupun berdiri dan berkata kepada laki-laki yang sedang lewat tersebut,”Wahai sifulan وَاللهِ إِنِّي لأُحِبُّكَ فِي اللهِ demi Allah sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah”. Laki-laki itupun berkata أَحَبَّكَ الّذِي أَحْبَبْتَنِيْ لَهُSemoga Allah Yang engkau mencintaiku karenaNya juga mencintaimu”. (HR Ahmad 3/140-141), sandanya dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (As-Shahihah no 418)

32 As-Shahihah no 416

33 As-Shahihah no 254

34 Abul Barokaat menukil atsar ini dalam risalahnya “Adabul ‘isyroh wa dzikrus suhbah wal ukhuwwah” hal 21

35 HR At-Thirmidzi no 2499, dan berkata,”Hadits Hasan Gorib”, Ibnu Majah no 4251

36 Berkata Ibnu Taimiyah,”Hajar yang disyariatkan ada dua. Pertama maknanya adalah meninggalkan kemungkaran-kemungkaran. Yang kedua adalah memberi hukuman kepada pelaku kemungkaran.

Yang pertama

sebagaimana telah disebutkan dalam firman Allah

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُواْ فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ {68}

Dan apabila kalian melihat orang-orang yang memperolok-olokan ayat-ayat Kami maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kalian lupa (akan larangan ini), maka janganlah kalian duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu). (QS Al-An’am : 68)

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللّهِ يُكَفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ تَقْعُدُواْ مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُواْ فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذاً مِّثْلُهُمْ {140}

Dan sesungguhnya Allah telah menurunkan kepada kalian di dalam Al-Qur’an bahwa apabila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokan maka janganlah kalian duduk beserta mereka sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kalian berbuat demikian) tentulah kalian serupa dengan mereka. (QS An-Nisaa’ : 141)

Maksud dari hajr jenis yang pertama ini adalah pelaku hajr tidaklah menghadiri kemungkaran tanpa adanya hajah, contohnya sekelompok orang meminum minuman keras kemudian dia duduk bersama mereka. Demikian juga jika ada sekelompok orang yang mengundangnya untuk menghadiri walimah yang terdapat padanya minuman keras dan suling (alat musik) maka hendaknya dia tidak memenuhi undangan mereka. Berbeda dengan orang yang menghadiri majelis-majelis kemaksiatan tersebut dengan tujuan untuk mengingkari perbuatan mereka atau dia hadir namun tanpa kemauan dia. Oleh karena itu dikatakan “orang yang menghadiri suatu kemungkaran seperti orang yang melakukan kemungkaran tersebut”. Dalam hadits disebutkan “Barangsiapa yang yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia duduk dekat meja yang digunakan untuk meminum minuman keras” (HR Abu Dawud no 3774). Hajr jenis pertama ini seperti halnya seseorang yang menghaj dirinya sendiri dari perbuatan kemungkaran, sebagaimana sabda Nabi “Orang yang berhijrah adalah orang yang menghajr (meninggalkan) apa yang dilarang oleh Allah” (HR Al-Bukhari, dan Abu Dawud no 2481). Dan termasuk dari hajr jenis yang pertama ini adalah orang yang berhijrah (meninggalkan) negeri kekufuran dan kefasikan menuju negeri Islam dan keimanan, sesungguhnya dia telah meninggalkan hidup ditengah-tengah orang-orang kafir dan orang-orang munafik yang mereka tidak membiarkannya bebas melaksanakan perintah Allah. Dan termasuk dari hajr jenis yang pertama ini adalah firman Allah وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ {5} “Dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah” (QS Al-Muddatstsir : 5)

Hajr jenis yang kedua

Adalah hajr dalam bentuk memberi pelajaran (hukuman) yaitu menghajr orang yang melakukan kemungkaran secara terang-terangan hingga dia kembali taubat dari perbuatannya tersebut. Sebagaimana Nabi menghajr tiga orang sahabat yang tidak ikut jihad yang wajib bagi mereka tanpa adanya alasan (udzur) hingga Allah menurunkan ayat tentang taubat mereka. Dan tidaklah dihajr orang yang menampakkan kebaikan walaupun pada hakekatnya orang tersebut adalah munafik. Maka hajr yang kedua ini adalah seperti ta’zir dan ta’zir hanyalah diterpkan kepada orang yang meninggalkan kewajiban dan melakukan hal-hal yang haram seperti orang yang meninggalkan shalat, tidak menunaikan zakat, melakukan tindakan kezholiman, mengerjakan perbuatan-perbuatan yang keji, orang yang menyeru kepada bid’ah yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah serta ijma’ para salaf yang menjelasakan bahwa hal itu adalah bid’ah.

Inilah hakikat perkataan sebagian salaf dan para imam,”Para penyeru kepada bid’ah tidak diterima persaksian mereka, tidak dikerjakan shalat dibelakang mereka (yaitu para penyeru kepada bid’ah tersebut menjadi imam tatkala shalat-pen), tidak diambil ilmu dari mereka, dan dinikahkan (para wanita) dengan mereka”. Hal ini adalah hukuman atas mereka hingga mereka berhenti. Oleh karena itu para imam salaf membedakan antara mubtadi’ yang menyeru kepada bid’ahnya dengan mubtadi’ yang tidak menyeru kepada bid’ahnya karena mubtadi’ yang menyeru kepada bid’ahnya menampakkan kemungkaran maka dia berhak mendapatkan hukuman berbeda dengan yang menyembunyikan kemungkaran yang dilakukannya, sesungguhnya dia tidak lebih buruk daripada orang-orang munafik yang Nabi menerima hokum dzhohir yang mereka tampakkan dan Nabi menyerahkan hal-hal yang tidak nampak dari mereka kepada Allah padahal beliau mengetahui kondisi kebanyakan mereka. Oleh karena itu disebutkan dalam sebuah hadits,”Sesungguhnya manusia jika melihat adanya kemungkaran kemudian mereka tidak merubahnya maka dikhawatirkan Allah akan menimpakan mereka hukuman secara merata” (As-Shahihah no 1564).

Maka kemungkaran-kemungkaran yang dilakukan terang-terangan wajib untuk diingkari berbeda dengan yang tersembunyi, karena kemungkaran yang dilakukan secara tersembunyi Allah hanya menimpakan hukuman kepada pelakunya secara khusus.

Dan hajr jenis kedua ini bervariasi penerapannya sesuai dengan kondisi para pelaksananya, tergantung kuat atau lemahnya kekuatan mereka demikian juga banyak atau sedikitnya jumlah mereka. Sesungguhnya tujuan dari hajr adalah memberi hukuman dan pelajaran bagi orang yang dihajr dan agar orang umum tidak melakukan seperti perbuatan orang yang dihajr. Jika memang maslahatnya lebih besar dimana praktek hajr terhadap pelaku maksiat tersebut mengakibatkan berkurangnya keburukan (kemaksiatan) maka tatkala itu hajr tersebut disyari’atkan. Namun apabila orang yang dihajr demikian juga orang lainnya tidak berhenti dari kemaksiatannya bahkan semakin menjadi-jadi dan pelaku hajr lemah dimana mafsadah yang timbul lebih besar daripada kemaslahatan maka tidaklah disyari’atkan hajr, bahkan tatkala itu sikap berlemah lembut kepada sebagian orang lebih bermanfaat daripada penerapan hajr.

Dan penerapan hajr terhadap sebagian orang lebih bermanfaat daripada sikap lemah lembut. Oleh karena itu Nabi bersikap lembut kepada sebagian orang (yaitu pelaku kemaksiatan-pen) dan menghajr sebagian yang lain sebagaimana Nabi menghajr tiga orang yang tidak ikut berjihad dalam perang tabuk, padahal mereka lebih baik daripada kebanyakan muallaf yang dibujuk hatinya, namun tatkala para mu’allaf tersebut adalah para pemuka di kabilah-kabilah mereka dan ditaati maka kemaslahatan agama diraih dengan cara bersikap lemah lembut kepada mereka. Adapun mereka (tiga orang yang tidak ikut jihad pada paerang tabuk) adalah orang-orang yang beriman dan orang-orang yang beriman selain mereka banyak jumlahnya maka dengan menghajr mereka nampak kekuatan dan kemuliaan agama dan juga membersihkan mereka dari dosa-dosa mereka. Hal ini seperti halnya sikap terhadap musuh, terkadang disyari’atkan perang, terkadang berdamai dengan mereka, dan terkadang dengan menerima jizyah dari mereka, semua itu tergantung kondisi dan kemaslahatan.

Dan jawaban Imam Ahmad dan para imam yang lain tentang permasalahan hajr dibangun diatas landasan ini (mamndang ada tidaknya kemaslahatan-pen), oleh karena itu Imam Ahmad membedakan (penerapan hajr) di daerah-daerah yang banyak timbul bid’ah –sebagaimana banyak timbul bid’ah qodariah dan tanjim di Khurosan, dan banyak nampak bid’ah tasyayyu’ di Kufah- dengan daerah-daerah yang tidak banyak timbul bid’ah. Demikian juga beliau membedakan antara para gembong-gembong bid’ah yang menjadi panutan dengan selain mereka. Maka jika seseorang telah mengetahui tujuan syari’at maka dia berusaha mencapai tujuan tersebut dengan menempuh jalan yang paling cepat mengantarkannya kepada tujuan tersebut.

Dan jika telah jelas hal ini maka ketahuilah bahwa praktek hajr yang disyari’atkan merupakan amalan ketaatan yang diperintah oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan yang namanya ketaatan maka harus dilaksanakan dengan ikhlas karena Allah dan sesuai dengan perintah-Nya. Barangsiapa yang menerapkan hajr karena hawa nafsunya atau mempraktekan hajr yang tidak diperintahkan untuk dilakukan (misalnya karena tidak menimbulkan maslahat, bahkan menimbulkan mafsadah-pen) maka dia telah keluar dari hajr yang syar’i. Betapa banyak manusia melakukan apa yang diinginkan hawa nafsunya dan mereka mengira bahwa mereka melakukannya karena Allah” (Majmu’ Al-Fatawa 28/203-210)

37 Berkata Syaikh Utsaimin: “Para ulama berselisih tentang definisi hasad, sebagian ulama mendefinisikan hasad adalah keinginan agar kenikmatan yang ada pada orang lain (saudaranya) hilang (baik kenikmatan tersebut adalah harta atau kedudukan atau ilmu). Ulama yang lainnya mendefinisikan bahwa hasad adalah benci terhadap kenikmatan yang Allah karunai terhadap orang lain (saudaranya). Dan definisi yang kedua inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, beliau berkata: “Jika seorang hamba benci terhadap kenikmatan yang Allah anugrahkan kepada selainnya maka dia telah hasad terhadapnya walaupun dia tidak berkeinginan agar kenikmatann tersebut hilang darinya”.Beliau berkata juga: “Dan merupakan hal yang maklum bahwa konsekuensi dari membenci yaitu dia berkeinginan agar kenikmatan tersebut hilang (dari saudaranya), namun definisi Ibnu Taimiyah lebih detail, maka hanya sekedar engkau membenci Allah telah memberi suatu kenikmatan terhadap saudaramu maka engkau telah hasad padanya” (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah)

 

38 Hadits ini dirwayatkan oleh Abu Dawud no 4903, dan hadits ini dlo’if pada sanadnya ada rawi yang majhul. (lihat penjelasaan Al-Arnaut dalam ta’liq jami’ul ulum 2/261)

39 HR Muslim no 2564

40 HR Al-Bukhori no 6894 (Al-Fath 12/279)

41 HR Muslim no 2566, dari hadits Abu Hurairah, kitabul Adab, bab Fadlul hubbi fillah

42 Hingga disinilah akhir nasehat Syaikh Sholeh Alu Syaikh.

Tinggalkan komentar