Tauhid Dulu atau Daulah Islamiyyah?

 

Kebingungan tengah melanda umat manusia, tidak tua tidak muda semua pusing memikirkan nasib mereka yang tak kunjung membaik dari dahulu. Mereka mengidamkan sosok pemimpin yang “ideal”, yang karena itu mereka mengadopsi sebuah metode falsafah barat, demokrasi namanya, yang bukan hanya dianut oleh Amerika saja yang notabene sebagai negara demokrasi, namun Indonesiapun menganutnya. Benarkah demokrasi atau sistem pilkada atau yang sejenisnya sebagai satu-satunya solusi tepat memilih pemimpin ideal? Simaklah pembahasan yang satu ini!

Tak ada partai politik yang tak berambisi merebut kursi kepemimpinan. Masing-masing parpol memiliki visi dan misi tersendiri. Dan semua lapisan masyarakat sepakat dengan kesepakatan yang memang telah disepakati bersama untuk mengangkat seorang pemimpin, yakni dengan sistem coblosan. Tidak dipungkiri niat baik mereka; memilih pemimpin yang mampu membangun bangsa dan negara menuju masa depan yang lebih cerah setelah sekian lamanya tenggelam ditelan gelombang kehidupan. Namun, apakah hasilnya sebagaimana yang diniatkan? Faktanya menyedihkan sekali, ibarat jauh panggang dari api.

Keinginan mencoblos hanya karena gila kekuasaan atas nama ras, suku, bahkan fanatik keagamaan tentu ada, tak peduli pilihannya baik atau tidak, yang penting pemimpin yang jadi pilihannya menang, maka tidak asing bagi kita, banyak di antara mereka yang beragama nasrani tergabung dalam parpol. Sejenak kita berpikir, Indonesia, negeri kita, tumpah darah kita, yang mayoritas beragama islam, andaikata, sekali lagi andaikata, seluruhnya menggadaikan akidah mereka, menjual akidah mereka dengan harga yang murah, dengan dalih “Negara indonesia bukan negara islam” sehingga pada akhirnya mereka pun dengan senang hati mencoblos parpol nasrani, maka demi Allah apa yang bakal terjadi? Nas_alullaaha as-salaamah wal ‘aafiyah…

Di situlah titik sentral bahaya demokrasi, yah sekarang taruhlah tidak sengeri itu; masyarakat muslim indonesia tak akan memilih parpol nasrani, tetapi bagaimana jika suatu saat kelak impian buruk tersebut benar-benar terjadi? Mungkin saja mereka yang telah “duduk” akan berkata “Ini kekuasaan kami, kami boleh mengkristenkan seluruh rakyat ini, terserah kami..” yang dampaknya bukan hanya kita saja yang sengsara, namun generasi muda muslim kita juga kecipratan. Ya sudah, sekarang begini saja solusinya, kan sasaran orang-orang kafir itu adalah pemilu. Mereka pasti akan menyusup dalam partai-partai yang berkedok nasionalisme dan mengelabui kaum muslimin. Maka cara kita adalah mencoblos partai-partai Islam yang menyuarakan Islam dan membela kaum muslimin. Hal ini bertumpu pada prinsip “irtikab akhoffidh dhararain li daf’i a’dzamihima” (memperkecil kerusakan atau mencegah mafsadah yang lebih besar dengan melakukan mafsadah yang lebih kecil), bagaimana? bisakah dijadikan solusi agar parpol nasrani tak mampu menduduki kekuasaan? Kita jawab, kalau demikian maksud akhi. Baiklah, sekarang tolong akhi amati, partai apakah yang memenuhi kriteria hizbullah (‘partai’ Allah). Sebab, Allah hanya memerintahkan saya untuk memilih dan bergabung dengan partai tersebut. Hizb-Allah itu cuma satu, karena dalam Al-Qur’an, Allah menggunakan kata “Hizb” (singular) yang artinya “satu partai.” Lho setahu saya, semua partai Islam juga menyerukan kepada persatuan umat, kan?! Kita jawab lagi, Kalau memang mereka semua mengklaim demikian, lalu mengapa mereka tetap berusaha mengeksiskan partainya masing-masing. Kadang-kadang kalau ada masalah, mereka hanya berganti nama, tidak berusaha untuk mengajak semua partai Islam untuk melebur. Menurut akhi persatuan model ini akan terwujud dengan satu partai atau banyak partai? Di negeri kita, satu partai saja bisa punya anak angkat. Akhi harus selalu ingat, bahwa persatuan Islam itu ibarat sebuah lingkaran besar. Biarkanlah lingkaran besar kaum muslimin itu tetap satu, jangan diiris-iris menjadi lingkaran-lingkaran kecil. Seandainya mereka menyerukan agar umat Islam memilih mereka atau mengajak bergabung menjadi anggota partai mereka, maka inilah yang saya namakan membuat lingkaran kecil. Namun apabila mereka menyerukan untuk memilih partai apa saja asalkan partai Islam, maka perkataan ini adalah hipokrit (munafik), karena jelas-jelas setiap partai itu mempunyai target. Adapun target adalah harapan, harapan tentunya akan dibarengi dengan usaha untuk mencapainya, yaitu membujuk massa. Lalu untuk apa ditentukan target? Organisasi/perkumpulan itu bisa saja diperlukan sebagai wadah dakwah dan menyerukan manusia kepada lingkaran besar Islam. Tapi kalau organisasi, perkumpulan, muassasah, partai itu dibentuk untuk menarik massa kepada himpunan mereka, maka mereka telah membuat sebuah lingkaran kecil di dalam lingkaran besar kaum muslimin. Organisasi seperti inilah yang justru akan memecah belah umat. Imam Malik berkata: Apabila engkau melihat suatu kelompok dalam Islam yang menyerukan umat Islam masuk kepada kelompoknya, bukan menyerukan kepada Islam, maka ketahuilah bahwa kelompok itu adalah sesat”.

Kalau begitu, bagaimana kalau kita rangkul saja semua kelompok-kelompok Islam itu, mulai dari Syi’ah yang menghujat para shahabat, demikian juga Ahmadiyah yang mengaku punya nabi baru, juga Islam Jama’ah yang menganggap orang di luar kelompoknya najis, sampai semua kelompok di kalangan ahlu sunnah, yang penting mereka mengaku tuhan kami adalah Allah dan Nabi kami adalah Muhammad. Lalu kita berjuang dalam sebuah partai untuk kemenangan Islam dengan sementara tanpa memperdulikan tidak memperselisihkan perbedaan prinsip. Bagaimana menurut antum? Kita jawab, jelas, cara seperti itu tidak akan pernah berhasil dalam konsep demokrasi itu sendiri. Coba akhi pikirkan, anggap saja dengan cara itu akhirnya umat Islam akan menang dan meraih suara terbanyak, lalu apa kira-kira yang akan terjadi? Bisakah hukum islam ditegakkan? Hukum Islam yang bagaimana? Yang sesuai dengan Kitab dan sunnah seperti pada zaman Nabi dulu, atau hukum Islam yang mengakomodasi seluruh pemahaman nyleneh yang ada pada kelompok-kelompok yang bersatu itu? Akhi harus ingat, di dalam konsep demokrasi, setiap orang berhak untuk menuntut haknya. Kaum Syi’ah akan meminta masjid untuk menghujat para shahabat. Sunni Quburiyyun akan tetap minta diperbolehkan berkunjung ke kuburan-kuburan. Semua sekte yang telah berhasil memenangkan partai kita, akan meminta kebebasan beribadah sesuai dengan cara mereka, atas nama demokrasi.

Mengapa bisa begitu? Tidak lain karena demikianlah demokrasi. Apa sih arti demokrasi kalau bukan demikian? Demokrasi identik dengan kebebasan, di tangan rakyatlah kekuasaan tertinggi itu berada. Lantas bagaimana jalan terbaik untuk melahirkan sosok pemimpin yang ideal?

Pahamilah wahai kaum muslimin! Wahai kaum muslimin, kaum terbesar jumlahnya di Indonesia! Bagaimana bisa menggenggam kekuasaan kalau tidak meniti jalan yang telah diterangkan Rasulullah? Negara Islam tidak akan pernah berdiri kecuali dengan cara yang Islami pula. Demokrasi bukanlah sistem yang Islami, bahkan dia adalah hasil bikinan musuh-musuh kita; orang-orang kafir. Coba lihat kembali sejarah negara-negara yang berusaha mendirikan negara Islam dengan cara pemilu, adakah satu negara saja yang berhasil? Mesir, sumber dan gudangnya gerakan Ikhwanul Muslimin yang mencetuskan dakwah politik, malah sekarang jadi negara sekuler. Aljazair, tatkala FIS (Front Islamic de Sault / Jabhatul Inqadz Al Islamiyah / Front Penyelamatan Islam), berhasil memenangkan pemilu secara mutlak dengan meraih 81% kursi parlemen pada pemilihan putaran pertama, apa hasilnya sekarang? Alih-alih untuk mendirikan negara Islam, iklim kebebebasan dalam menjalankan syariat agama saja belum pernah mereka nikmati. Sudan, Libya, Turki, Maroko dll? Tidak cukupkah pengalaman pahit mereka menjadi pelajaran buat kita? Masihkah kita ingin menjadi korban-korban selanjutnya?

Itulah demokrasi. Inti dari konsep demokrasi adalah adanya hak individu, hak asasi manusia (HAM), artinya setiap orang, baik itu shaleh ataupun jahat, mempunyai hak asasi yang harus dihormati. Setiap orang boleh mengeluarkan pendapat yang harus dihargai. Apakah konsep seperti ini baik? Konsep HAM mengatakan: segala perbuatan yang dilakukan oleh seorang individu, selama itu tidak mengggangu kepentingan orang lain, tidak merugikan orang lain, tidak melanggar hak orang lain, maka itu adalah hak asasinya yang harus didengar, dihargai dan dilindungi. Maksudnya dalam konteks negara demokrasi, apabila ada satu atau dua orang saja yang mempunyai pendapat, misalnya kita contohkan perkawinan sejenis (gay/lesbi), maka kedua orang tersebut berhak untuk turun ke jalan berdemonstrasi, menulis di media massa, mendakwahkan idenya, membentuk organisasi, berbicara di depan parlemen untuk menuntut haknya, serta berhak mendapatkan pembelaan.

Menyedihkan kita, diantara wanita muslimah justru ada yang menjadi anggota parlemen, bercampur dengan laki-laki dan orang-orang kafir, bahkan menjadi juru bicara partai. Bagaimana ini? MaasyaaAllah!

Sebagai seorang manusia, kita wajib tahu untuk apa kita diciptakan ke dunia ini? Allah berfirman dalam surah Adz-Dzaariat ayat ke-56 yang artinya, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” Sehingga jelaslah bagi kita, apalagi kita kaum muslimin kita harus yakin, bahwa Allah menciptakan kita dengan satu tujuan saja, yang tiada lain agar kita hanya menyembah Allah dan menjauhi serta meninggalkan kesyirikan beserta pelakunya.

Wahai kaum muslimin! Cobalah kini koneksikan hubungan kepemimpinan dengan tujuan utama kita diciptakan. Kita niatkan mengangkat pemimpin itu sebagai ibadah kepada Allah, kan tidak salah? Iya betul sekali, namun sayangnya umat manusia, terutama rakyat indonesia umumnya, terjerumus ke dalam kesyirikan dengan kata lain mereka tidak mengesakan Allah dalam uluhiyyah-Nya, apalagi calon pemimpinnya yang di sana bercampur baur antara muslim, liberal, nasrani, dll. Akankah bisa jaya kepemimpinan itu jika begini? Ataukah kita tegakkan tauhid tumbangkan syirik terlebih dahulu, sehingga nanti kelak otomatis kekuasaan akan Allah karuniakan kepada kita? Jawablah dari lubuk hati yang terdalam, manakah yang menjadi prioritas utama? Jawablah wahai kaum muslimin!

Wahai kaum muslimin! Realitas di atas terlalu memusingkan tanpa bimbingan wahyu Ilahi dan sunnah Rasulullah. Wahai kaum muslimin! Ingatlah akan sabda Rasulullah, jadikanlah sebagai jalan keluar, “kembali kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku”. Kalau dikatakan ‘kembali’, maka hal itu akan mempunyai dua makna. Pertama, orangnya telah menyimpang terlalu jauh. Kedua, lintasan yang dilalui keliru atau rambu-rambunya telah ternoda. Maka untuk membuat ‘pejalan kakinya’ bisa kembali, kita harus memberikan arahan kepadanya, berupa pendidikan intensif (tarbiyah) agar orang tersebut bisa mencari jalan pulang. Adapun terhadap ‘jalannya’, maka kita harus benahi jalan itu, dengan mencungkili noda-noda yang berkarat pada rambu-rambunya supaya tajam kembali petunjukknya (tashfiyah) agar orang lain tidak terperosok dalam jalan yang salah. Melalui hadits ini, Rasulullah telah memberikan solusi metode dakwah di akhir zaman, ketika umat Islam telah terkotak-kotak. Inilah metode dakwah menuju persatuan yang haqiqi, yaitu persatuan jasadi war ruuhi.

Namun demikian, jalan kemenangan itu kan panjang untuk ditapaki? Sebenarnya lama atau cepat bukan urusan kita. Itu urusan Allah. Kita tidak dituntut untuk cepat-cepat. Bahkan kemenangan itu sendiri pun bukan suatu target. Kemenangan pada hakikatnya adalah anugerah dari Allah. Contohnya tatkala Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab berjuang menegakkan bendera tauhid dan memberantas praktek-praktek kesyirikan di tanah Arab, beliau mengaca pada tradisi Nabi dalam berdakwah, Allah menganugerahkan kenikmatan via dakwah beliau sebuah negara Islam Arab Saudi. Kewajiban diri kita adalah bagaimana kita menunaikan jalan menuju kemenangan tersebut sesuai dengan konsep nubuwwah. Coba akhi ingat kembali kisah para nabi yang dibunuh oleh Bani Israil, berapa banyak nabi yang tidak mempunyai pengikut satu pun? Atau kaum nabi Nuh yang ingkar terhadap utusan-Nya padahal beliau sudah maksimal dalam berdakwah selama 950 tahun. Apakah Allah lantas menyalahkan para nabi tersebut karena tidak bisa mendirikan negara Islam? Tidak! Sebab mereka telah melaksanakan tugas sesuai dengan ‘instruksi’ Allah.

Kalau begitu, kapan kita bisa mendirikan sebuah daulah (negara) Islam? Kita jawab, daulah hanyalah sebuah sarana dakwah, bukan tujuan dakwah. Sarana itu memang harus kita capai, tapi bukan dengan menggadaikan substansi tujuan dakwah. Target utama dakwah adalah mentauhidkan Allah dan memurnikan Islam, yaitu dengan cara menuntut dan menyebarkan ilmu, serta memersatukan umat sesuai dengan konsep nubuwwah tadi.

Tetapi, bagaimana mungkin bisa dikatakan bahwa “mendirikan daulah” itu bukan tujuan dakwah tapi hanya sarana saja? Baiklah, apakah antum ingat kisah Rasulullah dengan pamannya Abu Thalib? Kalau seandainya mendirikan daulah atau menjadi presiden atau mencapai kekuasaan adalah tujuan dakwah, maka Rasulullah memanfaatkan kesempatan emas itu saat memulai dakwah Islamnya, tanpa harus berperang! Ingatkah akhi, ketika kaum kafir Quraisy melalu lisan paman nabi, Abu Thalib, menawarkan, “Seandainya engkau menghendaki wanita, maka mereka akan mencari wanita-wanita tercantik untuk dinikahkan dengan engkau, atau harta, maka mereka akan mengumpulkan seluruh kekayaan Quraisy dan diberikan kepada engkau, atau menjadi raja, maka mereka akan membai’at engkau menjadi raja”. Namun apa jawaban beliau? Beliau bersabda: “Sekali-kali tidak, wahai Pamanku! seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku, bulan di tangan kiriku, maka sekali-kali aku tidak akan gentar, sampai Allah memenangkan urusanku, atau aku binasa bersamanya.”

Subhanallah, mengapa beliau tidak memilih menjadi raja, bukankah beliau politikus ulung? Politikus hanyalah julukan orang-orang, tapi beliau adalah seorang Nabi. Seorang Rasul yang diturunkan dengan membawa konsep dakwah Ilahi. Seandainya beliau adalah politikus, maka sudah tentu beliau akan memilih menjadi raja. Karena dengan menjadi raja, maka harta akan beliau peroleh, wanita yang cantik akan mudah beliau dapatkan, bahkan dakwah pun akan lebih mudah disebarkan dengan kekuasaan. Tetapi sekali lagi, beliau bukan seorang politikus, beliau adalah seorang Nabi, yang mendapat wahyu dan diperintah oleh Allah ‘azza wajalla. Semoga penjelasan singkat ini dapat menjadi refleksi bagi kita, terkhusus bagi kaum muslimin yang berselisih paham akan masalah daulah islamiyyah. Semoga Allah meneguhkan kita di atas agama-Nya.

Akhirnya cukuplah firman Allah berikut ini kita bawakan, semoga menjadi cahaya petunjuk bagi kita semua. Allah berfirman yang artinya: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengamalkan amal shalih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap beribadah kepadaku dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku.”(QS.An-Nuur 55). Dirikanlah negeri Islam dalam jiwa-jiwa kalian, niscaya negeri Islam itu akan berdiri di tanah air kalian! Wallahu ta’ala a’la wa a’lam…( Maula Luthfi-Purwokerto)

Satu Tanggapan to “Tauhid Dulu atau Daulah Islamiyyah?”

  1. salafymuda Says:

    Semoga ada faidahnya, amalkanlah ilmu yg tlah kita ilmui!

Tinggalkan komentar